Sangek Berat Aku Ngentot 2 Pria

AGEN BOLA TERPERCAYA Aku adalah gadis berusia 19 tahun. kawan-kawan mengatakan aku cantik, tinggi 170, kulit putih dengan rambut lurus sebahu.

Aku termasuk populer diantara kawan-kawan, pokoknya ’gaul abis’.

Namun demikian aku masih mampu menjaga kesucianku sampai.. Suatu saat aku dan enam orang kawan Ani (19), Susan (20), Kevin (22), Dimas (22), John (23) dan Erick (20).

menghabiskan liburan dengan menginap di villa keluarga Erick di Puncak.

Ani walaupun tidak terlalu tinggi (160) memiliki tubuh padat dengan kulit putih, sangat sexy apalagi dengan ukuran payudara 36b-nya, Ani telah berpacaran cukup lama dengan Kevin.

Diantara kami bertiga Susan yang paling cantik, tubuhnya sangat proporsi tidak heran kalau sang pacar, Dimas, sangat tergila-gila dengannya. AGEN SABUNG AYAM

Sementara aku, Erick dan John masih ’jomblo’.

Erick yang berdarah India sebenarnya suka sama aku, dia lumayan ganteng hanya saja bulu-bulu dadanya yang lebat terkadang membuat aku ngeri, karenanya aku hanya menganggap dia tidak lebih dari sekedar teman.Acara ke Puncak kami mulai dengan ’hang-out’ disalah satu kafe terkenal di kota kami.

Larut malam baru tiba di Puncak dan langsung menyerbu kamar tidur, kami semua tidur dikamar lantai atas.

Udara dingin membuatku terbangun dan menyadari hanya Ani yang ada sementara Susan entah kemana.

Rasa haus membuatku beranjak menuju dapur untuk mengambil minum.

Sewaktu melewati kamar belakang dilantai bawah, telingaku menangkap suara orang yang sedang bercakap-cakap.

Kuintip dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, ternyata Dimas dan Susan.

Niat menegur mereka aku urungkan, karena kulihat mereka sedang berciuman, awalnya kecupan-kecupan lembut yang kemudian berubah menjadi lumatan-lumatan.

Keingintahuan akan kelanjutan adegan itu menahan langkahku menuju dapur.

Adegan ciuman itu bertambah ’panas’ mereka saling memagut dan berguling-gulingan, lidah Dimas menjalar bagai bagai ular ketelinga dan leher sementara tangannya menyusup kedalam t-shirt meremas-remas payudara yang menyebabkan Susan mendesah-desah, suaranya desahannya terdengar sangat sensual.

Disibakkannya t-shirt Susan dan lidahnya menjalar dan meliuk-liuk di putingnya, menghisap dan meremas-remas payudara Susan.

Setelah itu tangannya mulai merayap kebawah, mengelus-elus bagian sensitif yang tertutup cd.

Dimas berusaha membuka penutup terakhir itu, tapi sepertinya Susan keberatan.Lamat-lamat kudengan pembicaraan mereka.

“Jangan Mas” tolak Susan.

“Kenapa sayang” tanya Dimas.

“Aku belum pernah.. gituan”

“Makanya dicoba sayang” bujuk Dimas.

“Takut Mas” Susan beralasan.

“Ngga apa-apa kok” lanjut Dimas membujuk

“Tapi Mas”

“Gini deh”, potong Dimas,

“Aku cium aja, kalau kamu ngga suka kita berhenti”

“Janji ya Mas” sahut Susan ingin meyakinkan.

“Janji” Dimas meyakinkan Susan.

Dimas tidak membuang-buang waktu, ia membuka t-shirt dan celana pendeknya dan kembali menikmati bukit kenikmatan Susan yang indah itu, perlahan mulutnya merayap makin kebawah.. kebawah.. dan kebawah.

Ia mengecup-ngecup gundukan diantara paha sekaligus menarik turun celana dalam Susan.

Dengan hati-hati Dimas membuka kedua paha Susan dan mulai mengecup kewanitaannya disertai jilatan-jilatan.

Tubuh Susan bergetar merasakan lidah Dimas.

“Agghh.. Mas.. oohh.. enakk.. mas”

Mendengar desahan Susan, Dimas semakin menjadi-jadi, ia bahkan menghisap-hisap kewanitaan Susan dan meremas-remas payudaranya dengan liar.

Hentakan-hentakan birahi sepertinya telah menguasai Susan, tubuhnya menggelinjang keras disertai desahan dan erangan yang tidak berkeputusan, tangannya mengusap-usap dan menarik-narik rambut Dimas, seakan tidak ingin melepaskan kenikmatan yang ia rasakan.

Susan semakin membuka lebar kedua kakinya agar memudahkan mulut Dimas melahap kewanitaannya.

Kepalanya mengeleng kekiri-kekanan, tangannya menggapai-gapai, semua yang diraih dicengramnya kuat-kuat.

Susan sudah tenggelam dan setiap detik belalu semakin dalam ia menuju ke dasar lautan birahi.

Dimas tahu persis apa yang harus dilakukan selanjutnya, ia membuka CD nya dan merangkak naik keatas tubuh Susan.

Mereka bergumul dalam ketelanjangan yang berbalut birahi.

Sesekali Dimas di atas sesekali dibawah disertai gerakan erotis pinggulnya, Susan tidak tinggal diam ia melakukan juga yang sama.

Kemaluan mereka saling beradu, menggesek, dan menekan-nekan.

Melihat itu semua membuat degup jantung berdetak kencang dan bagian-bagian sensitif di tubuhku mengeras..

Aku mulai terjangkit virus birahi mereka.

Dimas kemudian mengangkat tubuhnya yang ditopang satu tangan, sementara tangan lain memegang kejantannya.

Dimas mengarahkan kejantanannya keselah-selah paha Susan.

“Jangan Mas, katanya cuma cium aja” sergah Susan.

“Rileks San” bujuk Dimas, sambil mengosok-gosok ujung penisnya di kewanitaan Susan.

“Tapi.. Mas.. oohh.. aahh” protes Susan tenggelam dalam desahannya sendiri.

“Nikmatin aja San”

“Ehh.. akkhh.. mpphh” Susan semakin mendesah

“Gitu San.. rileks.. nanti lebih enak lagi”

“He eh Mas.. eesshh”

“Enak San..?”

“Ehh.. enaakk Mas”

Aku benar-benar ternganga dibuatnya.

Seumur hidup belum pernah aku melihat milik pria yang sebenarnya, apalagi adegan ’live’ seperti itu.

Tidak ada lagi protes apalagi penolakan hanya desahan kenikmatan Susan yang terdengar.

“Aku masukin ya San” pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban.

Dimas langsung menekan pinggulnya, ujung kejantanannya tenggelam dalam kewanitaan Susan.

“Aakhh.. Mas.. eengghh” erang Susan cukup keras, membuat bulu-bulu ditubuhku meremang mendengarnya.

Dimas lebih merunduk lagi dengan sikut menahan badan, perlahan pinggulnya bergerak turun naik serta mulutnya dengan rakus melumat payudara Susan.

“Teruss.. Mas.. enak banget.. ohh.. isep yang kerass sayangg” Susan meracau.

“Aku suka sekali payudara kamu San.. mmhh”

“Aku juga suka kamu isep Mas.. ahh” Susan menyorongkan dadanya membuat Dimas bertambah mudah melumatnya.

Bukan hanya Susan yang terayun-ayun gelombang birahi, aku yang melihat semua itu turut hanyut dibuatnya.

Tanpa sadar aku mulai meremas-remas payudara dan memainkan putingku sendiri, membuat mataku terpejam-pejam merasakan nikmatnya.

Dimas tahu Susan sudah pada situasi ’point of no return’, ia merebahkan badannya menindih Susan dan memeluknya seraya melumat mulut, leher dan telinga Susan dan.. kulihat Dimas menekan pinggulnya, dapat kubayangkan bagaimana kejantanannya melesak masuk ke dalam rongga kenikmatan Susan.

“Auuwww.. Mas.. sakiitt” jerit Susan.

“Stop.. stop Mas”

“Rileks San… supaya enak nanti” bujuk Dimas, sambil terus menekan lebih dalam lagi.

“Sakit Mas.. pleasee.. jangan diterusin”

Terlambat.. seluruh kejantanan Dimas telah terbenam di dalam rongga kenikmatan Susan.

Beberapa saat Dimas tidak bergerak, ia mengecup-ngecup leher, pundak dan akhirnya payudara Susan kembali jadi bulan-bulanan lidah dan mulutnya.

Perlakuan Dimas membuat birahi Susan terusik kembali, ia mulai melenguh dan mendesah-desah, lama kelamaan semakin menjadi-jadi.

Bagian belakang tubuh Dimas yang mulai dari punggung, pinggang sampai buah pantatnya tak luput dari remasan-remasan tangan Susan.

Dimas memahami sekali keadaan Susan, pinggulnya mulai digerakan memutar perlahan sekali tapi mulutnya bertambah ganas melahap gundukan daging Susan yang dihiasi puting kecil kemerah-merahan.

“Uhh.. ohh.. Mas” desah kenikmatan Susan, kakinya dibuka lebih melebar lagi.

Dimas tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dipercepat ritme gerakan pinggulnya.“Agghh.. ohh.. terus Masss” Susan meracau merasakan kejantanan Dimas yang berputar-putar di kewanitaannya, kepalanya tengadah dengan mata terpejam, pinggulnya turut bergoyang.

Merasakan gerakannya mendapat respon Dimas tidak ragu lagi untuk menarik-memasukan batang kemaluannya.

“Aaauugghh.. sshh.. Mass.. ohh.. Mass” Susan tak kuasa lagi menahan luapan kenikmatan yang keluar begitu saja dari mulutnya.

Pinggul Dimas yang turun naik dan kaki Susan yang terbuka lebar membuat darahku berdesir, menimbulkan denyut-denyut di bagian sensitifku, kumasukan tangan kiri kebalik celana pendek dan CD.

Tubuhku bergetar begitu jari-jemariku meraba-raba kewanitaanku.

“Ssshh.. sshh” desisku tertahan manakala jari tengahku menyentuh bibir kemaluanku yang sudah basah, sesaat ’life show’ Dimas dan Susan terlupakan.

Kesadaranku kembali begitu mendengar pekikan Susan.

“Adduuhh.. Mas.. nikmat sekalii” Susan terbuai dalam birahinya yang menggebu-gebu.

“Nikmati San.. nikmati sepuas-puasnya”

“Ssshh.. ahh.. ohh.. ennaak Mas”

“Punya kamu enaakk sekalii San.. uugghh”

“Ohh.. Mass.. aku sayang kamu.. sshh” desah Susan seraya memeluk, pujian Dimas rupanya membuat Susan lebih agresif, pantatnya bergoyang mengikuti irama hentakan-hentakan turun-naik pantat Dimas.

“Enaak San.. terus goyang.. uhh.. eenngghh” merasakan goyangan Susan Dimas semakin mempercepat hujaman-hujaman kejantanannya.

“Ahh.. aahh.. Mass.. teruss.. sayaang” pekik Susan.

Semakin liar keduanya bergumul, keringat kenikmatan membanjir menyelimuti tubuh mereka.

“Mass.. tekan sayangg.. uuhh.. aku mau ke.. kelu.. aarrghh” erang Susan.

Dimas menekan pantatnya dalam-dalam dan tubuh keduanya pun mengejang.

Gema erangan kenikmatan mereka memenuhi seantero kamar dan kemudian keduanya.. terkulai lemas.

Dikamar aku gelisah mengingat-ingat kejadian yang baru saja kulihat, bayang-bayang Dimas menyetubuhi Susan begitu menguasai pikiranku.

Tak kuasa aku menahan tanganku untuk kembali mengusap-usap seluruh bagian sensitif di tubuhku namun keberadaan Ani sangat mengganggu, menjelang ayam berkokok barulah mataku terpejam.

Dalam mimpi adegan itu muncul kembali hanya saja bukan Susan yang sedang disetubuhi Dimas tetapi diriku.

Jam 10.00 pagi harinya kami jalan-jalan menghirup udara puncak, sekalian membeli makanan dan cemilan sementara Ani dan Kevin menunggu villa.

Belum lagi 15 menit meninggalkan villa perutku tiba-tiba mulas, aku mencoba untuk bertahan, tidak berhasil, bergegas aku kembali ke villa.

Selesai dari kamar mandi aku mencari Ani dan Kevin, rupanya mereka sedang di ruang TV dalam keadaan.. bugil.

Lagi-lagi aku mendapat suguhan ’live show’ yang spektakuler.

Tubuh Ani setengah melonjor di sofa dengan kaki menapak kelantai, Kevin berlutut dilantai dengan badan berada diantara kedua kaki Ani, Mulutnya mengulum-ngulum kewanitaan Ani, tak lama kemudian Kevin meletakan kedua tungkai kaki Ani dibahunya dan kembali menyantap ’segitiga venus’ yang semakin terpampang dimukanya.

Tak ayal lagi Ani berkelojotan diperlakukan seperti itu.“Ssshh.. sshh.. aahh” desis Ani.

“Oohh.. Vin.. nikmat sekalii.. sayang”

“Gigit.. Vin.. pleasee.. gigitt”

“Auuwww.. pelan sayang gigitnyaa”

Melengkapi kenikmatan yang sedang melanda dirinya satu tangan Ani mencengkram kepala Kevin, tangan lainnya meremas-remas payudara 36b-nya sendiri serta memilin putingnya.

Beberapa saat kemudian mereka berganti posisi, Ani yang berlutut di lantai, mulutnya mengulum kejantanan Kevin, kepalanya turun naik, tangannya mengocok-ngocok batang kenikmatan itu, sekali-kali dijilatnya bagai menikmati es krim.

Setiap gerakan kepala Ani sepertinya memberikan sensasi yang luar biasa bagi Kevin.

“Aaahh.. aauugghh.. teruss sayangg” desah Kevin.

“Ohh.. sayangg.. enakk sekalii”

Suara desahan dan erangan membuat Ani tambah bernafsu melumat kejantanan Kevin.

“Ohh.. Anii.. ngga tahann.. masukin sayangg” pinta Kevin.Ani menyudahi lumatannya dan beranjak keatas, berlutut disofa dengan pinggul Kevin berada diantara pahanya, tangannya menggapai batang kenikmatan Kevin, diarahkan kemulut kewanitaannya dan dibenamkan.

“Aaagghh” keduanya melenguh panjang merasakan kenikmatan gesekan pada bagian sensitif mereka masing-masing.

Dengan kedua tangan berpangku pada pahanya Ani mulai menggerakan pinggulnya mundur maju, karuan saja Kevin mengeliat-geliat merasakan batangnya diurut-urut oleh kewanitaan Ani.

Sebaliknya, milik Kevin yang menegang keras dirasakan oleh Ani mengoyak-ngoyak dinding dan lorong kenikmatannya.

Suara desahan, desisan dan lenguhan saling bersaut manakala kedua insan itu sedang dirasuk kenikmatan duniawi.

Tontonan itu membuat aku tidak dapat menahan keinginanku untuk meraba-raba2 sekujur tubuhku, rasa gatal begitu merasuk kedalam kemaluanku.

Kutinggalkan ’live show’ bergegas menuju kamar, kulampiaskan birahiku dengan mengesek-gesekan bantal di kewanitaanku.

Merasa tidak puas kusingkap rok miniku, kuselipkan tanganku kedalam CD-ku membelai-belai bulu-bulu tipis di permukaan kewanitaanku dan.. akhirnya menyentuh klitorisku.

“Aaahh.. sshh.. eehh” desahku merasakan nikmatnya elusan-elusanku sendiri, jariku merayap tak terkendali ke bibir kemaluanku, membuka belahannya dan bermain-main ditempat yang mulai basah dengan cairan pelancar, manakala kenikmatan semakin membalut diriku tiba-tiba pintu terbuka.. Ani! masih dengan pakaian kusut menerobos masuk, untung aku masih memeluk bantal, sehingga kegiatan tanganku tidak terlihat olehnya.

“Ehh Sus.. kok ada disini, bukannya tadi ikut yang lain?” sapa Ani terkejut.

“Iya nii.. balik lagi.. perut mules”

“Aku suruh Kevin beli obat ya”

“Ngga usah Ani.. udah baikan kok”

“Yakin Sus?”

“Iya ngga apa-apa kok” jawabku meyakinkan Ani yang kemudian kembali ke ruang tengah setelah mengambil yang dibutuhkannya.

Sirna sudah birahiku karena rasa kaget.

Malam harinya selesai makan kami semua berkumpul diruang tengah, Erick langsung memutar VCD X-2.

Adegan demi adegan di film mempengaruhi kami, terutama kawan-kawan pria, mereka kelihatan gelisah.

Film masih setengah main Ani dan Kevin menghilang, tak lama kemudian disusul oleh Susan dan Dimas.

Tinggal aku, John dan Erick, kami duduk dilantai bersandar pada sofa, aku di tengah.

Melihat adegan film yang bertambah panas membuat birahiku terusik.

Rasa gatal menyeruak dikewanitaanku mengelitik sekujur tubuh dan setiap detik berlalu semakin memuncak saja, aku jadi salah tingkah.

John yang pertama melihat kegelisahanku.

“Kenapa Sus, gelisah banget horny ya” tegurnya bercanda.

“Ngga lagi, ngaco kamu John” sanggahku.

“Kalau horny bilang aja Sus.. hehehe.. kan ada kita-kita” Erick menimpali.

“Rese’ nih berdua, nonton aja tuh” sanggahku lagi menahan malu.

John tidak begitu saja menerima sanggahanku, diantara kami ia paling tinggi jam terbangnya sudah tentu ia tahu persis apa yang sedang aku rasakan.

John tidak menyia-nyiakannya, bahuku dipeluknya seperti biasa ia lakukan, seakan tanpa tendensi apa-apa.

“Santai Sus, kalau horny enjoy aja, gak usah malu.. itu artinya kamu normal” bisik John sambil meremas pundakku.

Remasan dan terpaan nafas John saat berbisik menyebabkan semua bulu-bulu di tubuhku meremang, tanpa terasa tanganku meremas ujung rok.

John menarik tanganku meletakan dipahanya ditekan sambil diremasnya, tak ayal lagi tanganku jadi meremas pahanya.

“Remas aja paha aku Sus daripada rok” bisik John lagi.

Kalau sedang bercanda jangankan paha, pantatnya yang ’geboy’ saja kadang aku remas tanpa rasa apapun, kali ini merasakan paha John dalam remasanku membuat darahku berdesir keras.

“Ngga usah malu Sus, santai aja” lanjutnya lagi.

Entah karena bujukannya atau aku sendiri yang menginginkan, tidak jelas, yang pasti tanganku tidak beranjak dari pahanya dan setiap ada adegan yang ’wow’ kuremas pahanya.

Merasa mendapat angin, John melepaskan rangkulannya dan memindahkan tangannya di atas pahaku, awalnya masih dekat dengkul lama kelamaan makin naik, setiap gerakan tangannya membuatku merinding.

Entah bagaimana mulainya tanpa kusadari tangan John sudah berada dipaha dalamku, tangannya mengelus-elus dengan halus, ingin menepis, tapi, rasa geli-geli enak yang timbul begitu kuatnya, membuatku membiarkan kenakalan tangan John yang semakin menjadi-jadi.

“Sus gue suka deh liat leher sama pundak kamu” bisik John seraya mengecup pundakku.

Aku yang sudah terbuai elusannya karuan saja tambah menjadi-jadi dengan kecupannya itu.

“Jangan John” namun aku berusaha menolak.

“Kenapa Sus, cuma pundak aja kan” tanpa perduli penolakanku John tetap saja mengecup, bahkan semakin naik keleher, disini aku tidak lagi berusaha ’jaim’.

“John.. ahh” desahku tak tertahan lagi.

“Enjoy aja Sus” bisik John lagi, sambil mengecup dan menjilat daun telingaku.

“Ohh Sus” aku sudah tidak mampu lagi menahan, semua rasa yang terpendam sejak melihat ’live show’ dan film, perlahan merayapi lagi tubuhku.

Aku hanya mampu tengadah merasakan kenikmatan mulut John di leher dan telingaku.

Erick yang sedari tadi asik nonton melihatku seperti itu tidak tinggal diam, ia pun mulai turut melakukan hal yang sama.

Pundak, leher dan telinga sebelah kiriku jadi sasaran mulutnya.

Melihat aku sudah pasrah mereka semakin agresif.

Tangan John semakin naik hingga akhirnya menyentuh kewanitaanku yang masih terbalut CD.

Elusan-elusan di kewanitaanku, remasan Erick di payudaraku dan kehangatan mulut mereka dileherku membuat magma birahiku menggelegak sejadi-jadinya.

“Agghh.. Johnnn..Rickkk… ohh.. sshh” desahanku bertambah keras.

Erick menyingkap tang-top dan braku bukit kenyal 34b-ku menyembul, langsung dilahapnya dengan rakus.

John juga beraksi memasukan tangannya kedalam CD meraba-raba kewanitaanku yang sudah basah oleh cairan pelicin.

Aku jadi tak terkendali dengan serangan mereka tubuhku bergelinjang keras.“Emmhh.. aahh.. ohh.. aagghh” desahanku berganti menjadi erangan-erangan.

Mereka melucuti seluruh penutup tubuhku, tubuh polosku dibaringkan dilantai beralas karpet dan mereka pun kembali menjarahnya.

Erick melumat bibirku dengan bernafsu lidahnya menerobos kedalam rongga mulutku, lidah kami saling beraut, mengait dan menghisap dengan liarnya.

Sementara John menjilat-jilat pahaku lama kelamaan semakin naik.. naik.. dan akhirnya sampai di kewanitaanku, lidahnya bergerak-gerak liar di klitorisku, bersamaan dengan itu Erick pun sudah melumat payudaraku, putingku yang kemerah-merahan jadi bulan-bulanan bibir dan lidahnya.

Diperlakukan seperti itu membuatku kehilangan kesadaran, tubuhku bagai terbang diawang- awang, terlena dibawah kenikmatan hisapan-hisapan mereka.

Bahkan aku mulai berani punggung Erick kuremas-remas, kujambak rambutnya dan merengek-rengek meminta mereka untuk tidak berhenti melakukannya.

“Aaahh.. Johnnn.. Rickkk.. teruss.. sshh.. enakk sekalii”

“Nikmatin Sus… nanti bakal lebih lagi” bisik Erick seraya menjilat dalam-dalam telingaku.

Mendengar kata ’lebih lagi’ aku seperti tersihir, menjadi hiperaktif pinggul kuangkat-angkat, ingin John melakukan lebih dari sekedar menjilat, ia memahami, disantapnya kewanitaanku dengan menyedot-nyedot gundukan daging yang semakin basah oleh ludahnya dan cairanku.

Tidak berapa lama kemudian aku merasakan kenikmatan itu semakin memuncak, tubuhku menegang, kupeluk Erick-yang sedang menikmati puting susu-dengan kuatnya.

“Aaagghh.. Johnn.. Rickk.. akuu.. oohh” jeritku keras, dan merasakan hentak-hentakan kenikmatan didalam kewanitaanku.

Tubuhku melemas.. lungai.John dan Erick menyudahi ’hidangan’ pembukanya, dibiarkan tubuhku beristirahat dalam kepolosan, sambil memejamkan mata kuingat-ingat apa yang baru saja kualami.

Permainan Erick di payudara dan John di kewanitaanku yang menyebarkan kenikmatan yang belum pernah kualami sebelumnya, dan hal itu telah kembali menimbulkan getar-getar birahi diseluruh tubuhku.

Aku semakin tenggelam saja dalam bayang-bayang yang menghanyutkan, dan tiba-tiba kurasakan hembusan nafas ditelingaku dan rasa tidak asing lagi.. hangat basah.. Ahh.. bibir dan lidah Erick mulai lagi, tapi kali ini tubuhku seperti di gelitiki ribuan semut, ternyata Erick sudah polos dan bulu-bulu lebat di tangan dan dadanya menggelitiki tubuhku.

Begitupun John sudah bugil, ia membuka kedua pahaku lebar-lebar dengan kepala sudah berada diantaranya.

Mataku terpejam, aku sadar betul apa yang akan terjadi, kali ini mereka akan menjadikan tubuhku sebagai ’hidangan’ utama. Ada rasa kuatir dan takut tapi juga menantikan kelanjutannya dengan berdebar. Begitu kurasakan mulut John yang berpengalaman mulai beraksi.. hilang sudah rasa kekuatiran dan ketakutanku. Gairahku bangkit merasakan lidah John menjalar dibibir kemaluanku, ditambah lagi Erick yang dengan lahapnya menghisap-hisap putingku membuat tubuhku mengeliat-geliat merasakan geli dan nikmat dikedua titik sensitif tubuhku.

“Aaahh.. Johnn.. Rickk… nngghh.. aaghh” rintihku tak tertahankan lagi.

John kemudian mengganjal pinggulku dengan bantal sofa sehingga pantatku menjadi terangkat, lalu kembali lidahnya bermain dikemaluanku.

Kali ini ujung lidahnya sampai masuk kedalam liang kenikmatanku, bergerak-gerak liar diantara kemaluan dan anus, seluruh tubuhku bagai tersengat aliran listrik aku hilang kendali.

Aku merintih, mendesah bahkan menjerit-jerit merasakan kenikmatan yang tiada taranya.

Lalu kurasakan sesuatu yang hangat keras berada dibibirku.. kejantanan Erick! Aku mengeleng-gelengkan kepala menolak keinginannya, tapi Erick tidak menggubrisnya ia malah manahan kepalaku dengan tangannya agar tidak bergerak.

“Jilat.. Sus” perintahnya tegas.

Aku tidak lagi bisa menolak, kujilat batangnya yang besar dan sudah keras membatu itu, Erick mendesah-desah merasakan jilatanku.

“Aaahh.. Suss.. jilat terus.. nngghh” desah Erick.

“Jilat kepalanya Sus” aku menuruti permintaannya yang tak mungkin kutolak.

Lama kelamaan aku mulai terbiasa dan dapat merasakan juga enaknya menjilat-jilat batang penis itu, lidahku berputar dikepala kemaluannya membuat Erick mendesis desis.

“Ssshh.. nikmat sekali Suss.. isep sayangg.. isep” pintanya diselah-selah desisannya.

Aku tak tahu harus berbuat bagaimana, kuikuti saja apa yg pernah kulihat di film, kepala kejantanannya pertama-tama kumasukan kedalam mulut, Erick meringis.

“Jangan pake gigi Suss.. isep aja” protesnya, kucoba lagi, kali ini Erick mendesis nikmat.

“Ya.. gitu sayang.. sshh.. enak.. Sus”

Melihat Erick saat itu membuatku turut larut dalam kenikmatannya, apalagi ketika sebagian kejantanannya melesak masuk menyentuh langit-langit mulutku, belum lagi kenakalan lidah John yang tiada henti-hentinya menggerayangi setiap sudut kemaluanku.

Aku semakin terombang-ambing dalam gelombang samudra birahi yang melanda tubuhku, aku bahkan tidak malu lagi mengocok-ngocok kejantanan Erick yang separuhnya berada dalam mulutku.

Beberapa saat kemudian Erick mempercepat gerakan pinggulnya dan menekan lebih dalam batang kemaluannya, tanganku tak mampu menahan laju masuknya kedalam mulutku.

Aku menjadi gelagapan, ku geleng-gelengkan kepalaku hendak melepaskan benda panjang itu tapi malah berakibat sebaliknya, gelengan kepalaku membuat kemaluannya seperti dikocok-kocok. Erick bertambah beringas mengeluar-masukan batangnya dan..

“Aaagghh.. nikmatt.. Sus… aku.. kkeelluaarr” jerit Erick, air maninya menyembur-nyembur keras didalam mulutku membuatku tersedak, sebagian meluncur ke tenggorokanku sebagian lagi tercecer keluar dari mulutku.

Aku sampai terbatuk-batuk dan meludah-ludah membuang sisa yang masih ada dimulutku.

John tidak kuhiraukan aku langsung duduk bersandar menutup dadaku dengan bantal sofa.

“Gila Erick.. kira-kira dong” celetukku sambil bersungut-sungut.

“Sorry Sus.. ngga tahan.. abis isepan kamu enak banget” jawab Erick dengan tersenyum.

“Udah Sus jangan marah, kamu masih baru nanti lama lama juga bakal suka” sela John seraya mengambilkan aku minum dan membersihkan sisa air mani dari mulutku.

John benar, aku sebenarnya tadi menikmati sekali, apalagi melihat mimik Erick saat akan keluar hanya saja semburannya yang membuatku kaget.

John membujuk dan memelukku dengan lembut sehingga kekesalanku segera surut.

Dikecupnya keningku, hidungku dan bibirku.

Kelembutan perlakuannya membuatku lupa dengan kejadian tadi.

Kecupan dibibir berubah menjadi lumatan-lumatan yang semakin memanas kami pun saling memagut, lidah John menerobos mulutku meliuk-liuk bagai ular, aku terpancing untuk membalasnya.

Ohh.. sungguh luar biasa permainan lidahnya, leher dan telingaku kembali menjadi sasarannya membuatku sulit menahan desahan-desahan kenikmatan yang begitu saja meluncur keluar dari mulutku.

John merebahkan tubuhku kembali dilantai beralas karpet, kali ini dadaku dilahapnya puting yang satu dihisap-hisap satunya lagi dipilin-pilin oleh jari-jarinya.

Dari dada kiriku tangannya melesat turun ke kewanitaanku, dielus-elusnya kelentit dan bibir kemaluanku.

Tubuhku langsung mengeliat-geliat merasakan kenakalan jari-jari John.

“Ooohh.. mmppff.. ngghh.. sshh” desisku tak tertahan.

“Teruss.. Johnn.. aakkhh”

Aku menjadi lebih menggila waktu John mulai memainkan lagi lidahnya di kemaluanku, seakan kurang lengkap kenikmatan yang kurasakan, kedua tanganku meremas-remas payudaraku sendiri.

“Ssshh.. nikmat Johnn…mmpphh” desahanku semakin menjadi-jadi.

Tak lama kemudian John merayap naik keatas tubuhku, aku berdebar menanti apa yang akan terjadi.

John membuka lebih lebar kedua kakiku, dan kemudian kurasakan ujung kejantanannya menyentuh mulut kewanitaanku yang sudah basah oleh cairan cinta.

“Aauugghh.. Johnn.. pelann” jeritku lirih, saat kepala kejantanannya melesak masuk kedalam rongga kemaluanku.

John menghentikan dorongannya, sesaat ia mendiamkan kepala kemaluannya dalam kehangatan liang kewanitaanku.

Kemudian-masih sebatas ujungnya-secara perlahan ia mulai memundur-majukannya.

Sesuatu yang aneh segera saja menjalar dari gesekan itu keseluruh tubuhku.

Rasa geli, enak dan entah apalagi berbaur ditubuhku membuat pinggulku mengeliat-geliat mengikuti tusukan-tusukan John.

“Ooohh.. Johnn.. sshh.. aahh.. enakk Johnn” desahku lirih.

Aku benar-benar tenggelam dalam kenikmatan yang luar biasa akibat gesekan-gesekan di mulut kewanitaanku. Mataku terpejam-pejam kadang kugigit bibir bawahku seraya mendesis.

“Enak.. Sus” tanya John berbisik.

“He ehh Johnn.. oohh enakk.. Johnn.. sshh”

“Nikmatin Sus.. nanti lebih enak lagi” bisiknya lagi.

“Ooohh.. Jonn.. ngghh”

John terus mengayunkan pinggulnya turun-naik-tetap sebatas ujung kejantanannya-dengan ritme yang semakin cepat.

Selagi aku terayun-ayun dalam buaian birahi, tiba-tiba John menekan kejantanannya lebih dalam membelah kewanitaanku.

“Auuhh.. sakitt Johnn” jeritku saat kejantanannya merobek selaput darahku, rasanya seperti tersayat silet, John menghentikan tekanannya.

“Pertama sedikit sakit Sus.. nanti juga hilang kok sakitnya” bisik John seraya menjilat dan menghisap telingaku.

Entah bujukannya atau karena geliat liar lidahnya, yang pasti aku mulai merasakan nikmatnya milik John yang keras dan hangat didalam rongga kemaluanku.

John kemudian menekan lebih dalam lagi, membenamkan seluruh batang kemaluannya dan mengeluar-masukannya.

Gesekan kejantanannya dirongga kewanitaanku menimbulkan sensasi yang luar biasa! Setiap tusukan dan tarikannya membuatku menggelepar-gelepar.

“Ssshh.. ohh.. ahh.. enakk Johnn.. empphh” desahku tak tertahan.

“Ohh.. Sus.. enak banget punya kamu.. oohh” puji John diantara lenguhannya.

“Agghh.. terus Johnn.. teruss” aku meracau tak karuan merasakan nikmatnya hujaman-hujaman kejantanan John di kemaluanku.

Peluh-peluh birahi mulai menetes membasahi tubuh.

Jeritan, desahan dan lenguhan mewarnai pergumulan kami.

Menit demi menit kejantanan John menebar kenikmatan ditubuhku.

Magma birahi semakin menggelegak sampai akhirnya tubuhku tak lagi mampu menahan letupannya.

“Johnn.. oohh.. tekan Johnnn.. agghh.. nikmat sekali Johnn” jeritan dan erangan panjang terlepas dari mulutku.

Tubuhku mengejang, kupeluk John erat-erat, magma birahiku meledak, mengeluarkan cairan kenikmatan yang membanjiri relung-relung kewanitaanku.

Tubuhku terkulai lemas, tapi itu tidak berlangsung lama.

Beberapa menit kemudian John mulai lagi memacu gairahku, hisapan dan remasan didadaku serta pinggulnya yang berputar kembali membangkitkan birahiku.

Lagi-lagi tubuhku dibuat mengelepar-gelepar terayun dalam kenikmatan duniawi.

Tubuhku dibolak-balik bagai daging panggang, setiap posisi memberikan sensasi yang berbeda.

Entah berapa kali kewanitaanku berdenyut-denyut mencapai klimaks tapi John sepertinya belum ingin berhenti menjarah tubuhku.

Selagi posisiku di atas John, Erick yang sedari tadi hanya menonton serta merta menghampiri kami, dengan berlutut ia memelukku dari belakang.

Leherku dipagutnya seraya kedua tangannya memainkan buah dadaku.

Apalagi ketika tangannya mulai bermain-main diklitorisku membuatku menjadi tambah meradang.

Kutengadahkan kepalaku bersandar pada pundak Erick, mulutku yang tak henti-hentinya mengeluarkan desahan dan lenguhan langsung dilumatnya.

 Pagutan Erick kubalas, kami saling melumat, menghisap dan bertukar lidah.

Pinggulku semakin bergoyang berputar, mundur dan maju dengan liarnya.

Aku begitu menginginkan kejantanan John mengaduk-aduk seluruh isi rongga kewanitaanku yang meminta lebih dan lebih lagi.

“Aaargghh.. Sus.. enak banget.. terus Sus… goyang terus” erang John.

Erangan John membuat gejolak birahiku semakin menjadi-jadi, kuremas buah dadaku sendiri yang ditinggalkan tangan Erick.. Ohh aku sungguh menikmati semua ini.Erick yang merasa kurang puas meminta merubah posisi.

John duduk disofa dengan kaki menjulur dilantai, Akupun merangkak kearah batang kemaluannya.

“Isep Suss” pinta John, segera kulumat kejantanannya dengan rakus.

“Ooohh.. enak Sus… isep terus”

Bersamaan dengan itu kurasakan Erick menggesek-gesek bibir kemaluanku dengan kepala kejantanannya.

Tubuhku bergetar hebat, saat batang kemaluan Erick-yang satu setengah kali lebih besar dari milik John-dengan perlahan menyeruak menembus bibir kemaluanku dan terbenam didalamnya.

Tusukan-tusukan kejantanan Erick serasa membakar tubuh, birahiku kembali menggeliat keras.

Aku menjadi sangat binal merasakan sensasi erotis dua batang kejantanan didalam tubuhku.

Batang kemaluan John kulumat dengan sangat bernafsu. Kesadaranku hilang sudah naluriku yang menuntun melakukan semua itu.

“Sus.. terus Suss.. gue ngga tahan lagi.. Aaarrgghh” erang John.

Aku tahu John akan segera menumpahkan cairan kenikmatannya dimulutku, aku lebih siap kali ini. Selang berapa saat kurasakan semburan-semburan hangat sperma John.

“Aaagghh.. nikmat banget Sus.. isep teruss.. telan Sus” jerit John, lagi-lagi naluriku menuntun agar aku mengikuti permintaan John, kuhisap kejantananya yang menyemburkan cairan hangat dan.. kutelan cairan itu.

Aneh! Entah karena rasanya, atau sensasi sexual karena melihat John yang mencapai klimaks, yang pasti aku sangat menyukai cairan itu.

Kulumat terus itu hingga tetes terakhir dan benda keras itu mengecil.. lemas.John beranjak meninggalkan aku dan Erick, sepeninggal John aku merasa ada yang kurang.

Ahh.. ternyata dikerjai dua pria jauh lebih mengasikkan buatku.

Namun hujaman-hujaman kemaluan Erick yang begitu bernafsu dalam posisi ’doggy’ dapat membuatku kembali merintih-rintih.

Apalagi ditambah dengan elusan-elusan Ibu jarinya dianusku.

Bukan hanya itu, setelah diludahi Erick bahkan memasukan Ibu jarinya ke lubang anusku.

Sodokan-sodokan dikewanitaanku dan Ibu jarinya dilubang anus membuatku mengerang-erang.

“Ssshh.. engghh.. yang keras Rickkk. mmpphh”

“Enak banget Rickk.. aahh.. oohh”

Mendengar eranganku Erick tambah bersemangat menggedor kedua lubangku, Ibu jarinya kurasakan tambah dalam menembus anusku, membuatku tambah lupa daratan.

Sedang asiknya menikmati, Erick mencabut kejantanan dan Ibu jarinya.

“Erickk… kenapa dicabutt” protesku.

“Masukin lagi Rickk…. pleasee” pintaku menghiba.

Sebagai jawaban aku hanya merasakan ludah Erick berceceran di lubang anusku, tapi kali ini lebih banyak.

Aku masih belum mengerti apa yang akan dilakukannya.

Saat Erickkk mulai menggosok kepala penisnya dilubang anus baru aku sadar apa yang akan dilakukannya.

“Ericki.. pleasee.. jangan disitu” aku menghiba meminta Erick jangan melakukannya.

Erick tidak menggubris, tetap saja digosok-gosokannya, ada rasa geli-geli enak kala ia melakukan hal itu.

Dibantu dengan sodokan jarinya dikemaluanku hilang sudah protesku.

Tiba-tiba kurasakan kepala kemaluannya sudah menembus anusku.

Perlahan namun pasti, sedikit demi sedikit batang kenikmatannya membelah anusku dan tenggelam habis didalamnya.

“Aduhh sakitt Rick… akhh..!” keluhku pasrah karena rasanya mustahil menghentikan Erick.

“Rileks Sus… seperti tadi, nanti juga hilang sakitnya” bujuknya seraya mencium punggung dan satu tangannya lagi mengelus-elus klitorisku.

Separuh tubuhku yang tengkurap disofa sedikit membantuku, dengan begitu memudahkan aku untuk mencengram dan mengigit bantal sofa untuk mengurangi rasa sakit.

Berangsur-angsur rasa sakit itu hilang, aku bahkan mulai menyukai batang keras Erick yang menyodok-nyodok anusku.

Perlahan-lahan perasaan nikmat mulai menjalar disekujur tubuhku.

“Aaahh.. aauuhh.. oohh Rickkk”erang-erangan birahiku mewarnai setiap sodokan penis Erick yang besar itu.

Erick dengan buasnya menghentak-hentakan pinggulnya.

Semakin keras Erick menghujamkan kejantananya semakin aku terbuai dalam kenikmatan.

John yang sudah pulih dari ’istirahat’nya tidak ingin hanya menonton, ia kembali bergabung.

Membayangkan akan dijarah lagi oleh mereka menaikan tensi gairahku.

Atas inisiatif John kami pindah kekamar tidur, jantungku berdebar-debar menanti permainan mereka.

John merebahkan diri terlentang ditempat tidur dengan kepala beralas bantal, tubuhku ditarik menindihinya.

Sambil melumat mulutku-yang segera kubalas dengan bernafsu-ia membuka lebar kedua pahaku dan langsung menancapkan kemaluannya kedalam vaginaku.

Erick yang berada dibelakang membuka belahan pantatku dan meludahi lubang anusku.

Menyadari apa yang akan mereka lakukan menimbulkan getaran birahi yang tak terkendali ditubuhku.

Sensasi sexual yang luar bisa hebat kurasakan saat kejantanan mereka yang keras mengaduk-aduk rongga kewanitaan dan anusku.

Hentakan-hentakan milik mereka dikedua lubangku memberi kenikmatan yang tak terperikan.

Erick yang sudah lelah berlutut meminta merubah posisi, ia mengambil posisi tiduran, tubuhku terlentang diatasnya, kejantanannya tetap berada didalam anusku.

John langsung membuka lebar-lebar kakiku dan menghujamkan kejantanannya dikemaluanku yang terpampang menganga.

Posisi ini membuatku semakin menggila, karena bukan hanya kedua lubangku yang digarap mereka tapi juga payudaraku.

Erick dengan mudahnya memagut leherku dan satu tangannya meremas buah dadaku, John melengkapinya dengan menghisap puting buah dadaku satunya.

Aku sudah tidak mampu lagi menahan deraan kenikmatan demi kenikmatan yang menghantam sekujur tubuhku.

Hantaman-hantaman John yang semakin buas dibarengi sodokan Erick, sungguh tak terperikan rasanya.

Hingga akhirnya kurasakan sesuatu didalam kewanitaanku akan meledak, keliaranku menjadi-jadi.

“Aaagghh.. ouuhh.. Johnnn.. Rickkk.. tekaann” jerit dan erangku tak karuan.

Dan tak berapa lama kemudian tubuhku serasa melayang, kucengram pinggul John kuat-kuat, kutarik agar batangnya menghujam keras dikemaluanku, seketika semuanya menjadi gelap pekat.

Jeritanku, lenguhan dan erangan mereka menjadi satu.

“Aduuhh.. Johnn.. Rickk.. nikmat sekalii”

“Aaarrghh.. Suss… enakk bangeett”

Keduanya menekan dalam-dalam milik mereka, cairan hangat menyembur hampir bersamaan dikedua lubangku.

Tubuhku bergetar keras didera kenikmatan yang amat sangat dahsyat, tubuhku mengejang berbarengan dengan hentakan-hentakan dikewanitaanku dan akhirnya kami.. terkulai lemas.

Sepanjang malam tak henti-hentinya kami mengayuh kenikmatan demi kenikmatan sampai akhirnya tubuh kami tidak lagi mampu mendayung.

Kami terhempas kedalam mimpi dengan senyum kepuasan.

Dihari-hari berikutnya bukan hanya Erick dan John yang memberikan kepuasan, tapi juga pria-pria lain yang aku sukai.

Tapi aku tidak pernah bisa meraih kenikmatan bila hanya dengan satu pria.. aku baru akan mencapai kepuasan bila ’dijarah’ oleh dua atau tiga pria sekaligus.
Share:

Ngentot Dengan Perawan Polos Dan Culun

AGEN BOLA TERPERCAYA Aku ingat Lina waktu dia masih kecil.

Dia anak temanku yang paling kecil, Lina benar-benar membuat hatiku tidak karuan, dengan rambut sebahu, hitam legam ikal.

Umurnya sekitar 15 atau 16 tahun sekarang, dan wajahnya yang baby face membuatnya seperti tak berdosa.

Ketika melihat Lina untuk yang kesekian kalinya, aku bersumpah kalau aku harus berhasil tidur bersamanya sebelum aku pergi dari kota ini. AGEN SABUNG AYAM

Dan aku sudah menjalankan rencanaku.

Aku main ke rumah Lina bekali-kali, sepanjang siang dan malam sampai aku telepon untuk mengetahui kapan Lina ada sendirian dan kapan orang tuanya ada.

Dan pada waktu malam aku memutuskan untuk masuk ke rumah Lina aku sudah memastikan bahwa orang tua Lina sudah tidur dan Lina ada di kamar tidurnya.

Rencanaku akan kuperkosa Lina sementara orang tuanya tidur di kamar mereka.

Tubuhku kaku karena tegang, waktu aku buka jendela belakang rumahnya pakai linggis.

Suara jendela yang terdongkel terdengar seperti letusan membuatku harus diam tidak bergerak selama setengah jam menunggu apakah ada penghuni rumah yang terbangun.

Untung saja semuanya masih dalam keadaan sunyi senyap, dan aku memutuskan untuk masuk. Tubuhku sekarang gemetar.

Setiap langkahku seperti membuat seluruh rumah berderit dan aku siap meloncat melarikan diri.

Tapi waktu aku sampai di depan kamar tidur Lina rumah itu masih gelap dan sunyi senyap.

Aku buka pintu dan masuk sambil menutupnya kembali.

Aku seperti bisa mendengar jantungku yang berdetak keras sekali.

Aku belum pernah setakut ini seumur hidupku.

Tapi bagian yang paling susah sudah berhasil aku lampaui.

Kamar tidur orang tua Lina ada di lantai dasar.

Aku berdiri di samping ranjang Lina memilih langkah selanjutnya.

Perlahan penisku mulai menegang sampai akhirnya besar dan tegang sampai ngilu.

Mata Lina terbuka menatapku tidak bisa bernafas.

Aku ada di sebelah ranjangnya mencekik lehernya, sementara tangan kiriku mengacungkan belati di depan wajahnya.

“Diem. Jangan bergerak, jangan bersuara, atau lo mati.” aku dengar nada suaraku yang lain sekali dari biasa. Kedengarannya bengis dan kejam.

Lina tetap terlihat cantik.

Umurnya lima belas tahun.

Dia terbatuk-batuk.

“Kalau aku lepasin tanganku, lo berguling tengkurap dan jangan berisik atau aku potong leher lo.”

Aku tentu tidak bermaksud akan membunuh dia, tapi paling tidak itu berhasil bikin Lina ketakutan.

Lina langsung menurut dan segera kuikat tubuhnya, menutup mulutnya dengan plester, dan mengikat pergelangan tangannya di belakang.

Selimut yang menutupi tubuh Lina sekarang sudah ada di lantai, dan aku bisa melihat jelas gadis yang lagi tengkurap di depanku.

Tubuh Lina langsing dan mungil, dan baju tidur yang dipakainya terangkat ke atas membuatku bisa melihat kakinya yang putih dan mulus.

Ereksiku sudah maksimal dan aku sudah tidak tahan sakitnya, celanaku menyembul didorong oleh penisku yang besar, dan bersentuhan dengan pantat Lina yang mungil.

Aku menindih Lina dan bergoyang-goyang membuat penisku bergesekan dengan pantat Lina dan dengan tanganku yang bebas kuraba bagian dada Lina yang masih ditutup oleh dasternya.

Buah dada Lina masih kecil, yang membuatku makin birahi. Mulutku bersentuhan dengan telinga Lina.

“Lo benar-benar sempurna. Tetap diam dan aku akan pergi sebentar segera.”Mata Lina terpejam seakan-akan telah tertidur kembali.

Aku lepaskan celana trainingku dan celana dalamku sampai ke kakiku tapi belum aku melepaskannya dari badanku, sambil menatap bagian belakang tubuh Lina yang indah.

Kakinya yang telanjang membuat nafasku berat, dan dasternya tidak bisa lagi menutupi pantatnya yang ditutupi celana dalam putih.

Dan tangannya yang terikat erat benar-benar membuat Lina sempurna buatku.

Aku buka kaki Lina tanpa perlawanan yang berarti, dan membenamkan wajahku, yang membuat Lina mengeluarkan erangan untuk pertama kalinya.

Aku benamkan wajahku ke selangkangan Lina, menikmati wangi tubuh Lina, yang terus mengerang ketakutan.

Selanjutnya aku raba-raba vaginanya yang tertutup celana dalam dari belakang, meraba, dan akhirnya menusuk-nusuk dengan jariku.

Ini membuat erangan Lina makin keras sehingga aku harus mengancamnya lagi dengan belatiku.

Kemudian kulihat dia gemetar dan kelihatannya mulai menangis.

Celana dalamnya lembab, dan aku jadi berpikir mungkin Lina mulai terangsang oleh jariku.

“Lo suka Lina? Hei, lo suka tidak?” Lina hanya menangis.

Aku terus meraba vaginanya, sampai aku tidak tahan lagi, dan langsung kutarik celana dalam Lina sampai lepas.

Aku makin mencium bau tubuh Lina.

Dan aku mulai gila.

Aku balik lagi badannya, karena aku tahu aku lebih mudah ngerjain Lina lewat depan.

Lina berbaring tidak nyaman, berbaring telentang dengan tangan terikat ke belakang, dan telanjang mulai pinggang ke bawah, rambut kemaluannya yang masih tipis terlihat jelas. Ia menatap mataku, air mata membuat pipi Lina berkilat tertimpa cahaya lampu kamarnya.

Aku tidak begitu suka lihat tatap mata Lina, aku jadi berpikir untuk bikin dia tengkurap lagi begitu penisku sudah masuk ke vaginanya.

Aku menempatkan tubuhku, aku harus memnyuruhnya beberapa kali untuk membuka kakinya lebih lebar, seperti dokter gigi,

“Ayo lebih lebar sayang, lho kok segitu, lebih lebar lagi, bagus anak manis..”, Aku ingin tahu dia masih perawan atau tidak.

Lina tidak meronta-ronta, soalnya aku masih pegang belatiku, tapi terus menangis tersedu-sedu, dan mengerang-erang, berusaha berkata sesuatu.


“Lo masih perawan tidak Lina? Masih? Masih apa tidak.”Lina terus menangis.

Aku angkat dasternya ke atas lagi.

Di depan Lina agak rata, buah dadanya hanya sekepal dengan puting susu yang mengeras.

Aku pikir itu karena udara dingin, tapi mungkin juga bagian dari tubuh Lina yang emang terangsang.

“Bukan gitu sayang, lo mesti buka lebih lebar lagi..”Aku tekan penisku di belahan vaginanya yang masih mungil.

Terasa basah. benar-benar super sempit.

Kutarik lagi penisku dan kumasukkan jariku, dan merasakan jepitan vagina Lina yang hangat yang membuat penisku ingin merasakannya juga.

Aku gerakkan penisku maju mundur beberapa kali dan mengarahkan penisku lagi, tegang seperti tongkat kayu.

“Buka lagi manis.

Lo benar-benar cantik.

Aku cuma mau perkosa kamu terus pergi.

”Aku harus mendorong, bergoyang, berputar, dan akhirnya mengangkat kedua kaki Lina ke atas sebelum aku berhasil mendorong kepala penisku masuk ke vagina Lina.

Aku lihat lagi buah dada Lina dengan putingnya yang mencuat ke atas, mata yang memohon dan meratap dengan air mata dan aku dorong penisku masuk ke vagina mungil milik gadis berumur lima belas tahun itu dengan seluruh tenagaku.

Lina menjerit, diredam oleh plester, membuatku makin semangat.

Vaginanya sempit sekali seperti menggenggam penisku.

Dia ternyata tidak basah sama sekali.

Aku perkosa dia dengan kasar, seakan-akan aku ingin membuatnya mati dengan penisku, berusaha membuat Lina menjerit serta aku menghentak masuk. Lina semakin histeris sekarang.

Keadaanku sudah 100 persen dikuasai birahi, dan sekarang aku memusatkan perhatian untuk menyakiti Lina, dan aku tidak punya lagi rasa kasihan buat Lina.

Aku terus menghentak-hentak di atas tubuh Lina, dengan kecepatan yang brutal, dan tubuhnya yang mungil terbanting-banting karena gerakanku.

Aku merasa aku seperti merobek vagina Lina dengan penisku, dan membuatku makin terangsang, mendorongku bergerak makin brutal.

Di sela-sela gerakanku, aku jatuhkan belatiku dan kulepaskan celanaku yang membuat tanganku bebas menggunakan tubuh Lina.

Aku kesetanan merasakan tubuh Lina, aku meremas setiap bagian tubuh Lina, meremas buah dadanya, menjepit puting susunya, dan menggunakan bahunya yang kecil buat menopang tubuhku.

Aku hampir tidak ingat apa aja yang aku kerjakan sama Lina.

Lina beberapa kali meronta pada awalnya, berusaha membebaskan tangannya, berusaha berguling, berusaha mengeluarkan penisku dari vaginanya.

Wajah Lina memancarkan rasa panik dan takut, dan aku terus memperkosanya sekuat tenagaku, seakan-akan itu masalah hidup dan matiku.

Seaat sebelum aku mengalami orgasme aku menarik penisku keluar dan Lina langsung berusaha untuk berguling. Aku jambak rambutnya dan menariknya
.
“Brengsek, tidur ke lantai.”Aku tarik kepalanya sampai menempel ke lantai.

Sementara dia jatuh berlutut, tapi Lina sama sekali tidak bisa mengangkat wajahnya dengan tangan masih terikat ke belakang.

Kepala Lina terbenam ke lantai. Lina masih menangis dan gemetar.

Aku masukkan lagi penisku ke vagina Lina tanpa kesulitan, karena penisku sudah seluruhnya dilumuri darah perawan Lina.

Aku masukkan dari belakang sebelum Lina sempat meronta, aku pegangin pinggulnya sementara aku terus mendorong sekuat tenaga.

Dengan pantat masih nungging ke atas aku tekan punggung Lina dengan tanganku sehingga kepala dan dada Lina makin terhimpit ke lantai, dan aku terus memperkosa dia dengan gaya seperti anjing.

Dan Lina sendiri sekarang mendengking-dengking seperti anak anjing yang ketakutan.

Sekarang kutarik lagi rambutnya, membuat kepala Lina terangkat.

Lina benar-benar cantik dan tak berdaya, tangannya terikat di punggung.

Aku terus menyetubuhinya dengan keras dan tidak berirama, kadang brutal berhenti sedetik dan mulai lagi dengan keras, dan bergantian menekan punggungnya ke lantai lalu menarik rambutnya hingga ia mendongak lagi, sampai aku merasakan tanda-tanda ejkulasi lagi.

Aku ingin sekali melepas plesternya dan memasukan penisku ke mulutnya yang mungil, tapi untung saja aku masih sadar kalau itu bisa bikin aku ketahuan, jadi aku tetap menahan penisku di liang kenikmatan Lina sedalam-dalamnya dan melepaskan ejakulasiku.

Aku pegangin belahan pantat Lina dekat dengan selangkanganku waktu aku menyemburkan spermaku ke rahim Lina yang menerimanya dengan tatapan mata panik.

“Oh Lina, sayangku, oh, oh..”

Penisku bekerja keras memompa, berdenyut, menyemburkan sperma ke tubuh Lina, dan aku belum pernah mengeluarkan sperma sebanyak ini selama hidupku.

Lina tetap diam tidak bergerak, terengah-engah.

Nafasku juga terputus-putus, dan bergidik sedikit ketika aku mengejang lagi dan menyemprotkan sisa spermaku ke rahim Lina.

Aku menghentak dia beberapa kali lagi, sekarang dengan penuh perasaan seperti sepasang kekasih.

Lina sadar bahwa aku sudah selesai, dan menerima gerakanku yang terakhir ini masih tak bergerak, dengan kepala terbenam ke dalam karpet kamarnya yang tebal.

Aku tarik penisku keluar.

Dan aku langsung merasa cemas lagi.

Aku langsung mengenakan pakaianku, dan secara ajaib masih ingat untuk mengambil belatiku dan memikirkan sesuatu untuk aku ucapkan pada Lina.

“.. Makasih sayang”, aku berbisik lirih, dan langsung melarikan diri.

Dan biarpun aku sempat cemas ketika aku sudah dalam perjalanan ke luar kota, beberapa saat kemudian aku kembali dipenuhi hasrat baru.

Aku berpikir untuk kembali dan menculik Lina serta mengajak beberapa orang temanku untuk mencicipinya.


Sahabat303 - Agen Sabung Ayam, Agen Bola, SBOBET, IBCBET, Casino Online Terpercaya
  • Bonus Deposit 10% (Khusus Sportbook) Setiap Harinya
  • Bonus Deposit 10 % Khusus Tangkas Setiap harinya
  • Bonus Cashback Sport Up To 16%
  • Bonus Cashback Casino 2%
  • Bonus Rollingan Casino 0.7%
  • Bonus Cashback Sabung Ayam Up To 10%
  • Bonus Referral 2% Seumur Hidup
Kami juga memiliki layanan custumer service yang ramah dan profesional untuk melayani anda kapan pun.

Share:

Aku Mendapatkan Gairah Dari Anak Kawanku & Temannya

AGEN BOLA TERPERCAYA  Aku punya sahabat namanya Grace kami jarang bertemu atau berjumpa sejak kami sudah berkeluarga hingga anak kami bertumbuhya dewasa tapi kami selalu telpon atau sms menanyakan kabar jadi jalinan persahabatan kami masih berlanjut sampai sekarang, ada saja yang kami bicarakan dari tanya kabar anaknya, orang tuanya dan lain sebagainya.

Pada hari sabtu pagi Grace menelponku katanya dia habis pulang dari Magelang kota kelahirannya dia membawakan oleh oleh kecil untuk keluargaku. AGEN SABUNG AYAM

Katanya Anaknya yang bernama Karno akan menggantarkan oleh olehnya kerumahku kalau aku tidak keluar,Ah terimakasih Grace sudah mengasih oleh oleh.

Pasti dia membawa gethuk kesukaanku khas makanan magelang, Aku pun tidak keluar menunggu kedatangan Karno kerumahku, yang mana hampir 15 tahun aku tidak pernah melihat Karno.

Malam itu Datanglah yang memakai mobil Jeep masuk kedalam rumahku, kuintip dari jendela.

Dua orang anak tanggung turun dari jeep itu.

Mungkin si Karno datang bersama temannya.

Ah, jangkung bener anak Grace.

Aku buka pintu.

Dengan sebuah bingkisan si Karno naik ke teras rumah

“Selamat siang, Tante. Ini titipan mama untuk Tante Mely.

Kenalin ini Dedi teman saya, Tante”. Karno menyerahkan kiriman dari mamanya dan mengenalkan temannya padaku.

Aku sambut gembira mereka.Oleh-oleh Grace dan langsung Aku simpan di lemari es-ku biar nggak basi.

Aku terpesona saat melihat anak Grace yang sudah demikian gede dan jangkung itu.

Dengan gaya pakaian dan rambutnya yang trendy sungguh keren anak sahabatku ini.

Demikian pula si Dedi temannya, mereka berdua adalah pemuda-pemuda masa kini yang sangat tampan dan simpatik.

Ah, anak jaman sekarang, mungkin karena pola makannya sudah maju pertumbuhan mereka jadi
subur.

Mereka Aku ajak masuk ke rumah.

Kubuatkan minuman untuk mereka.

Kuperhatikan mata si Dedi agak nakal, dia pelototi bahuku, buah dadaku, leherku.

Matanya mengikuti apapun yang sedang Aku lakukan, saat Aku jalan, saat Aku ngomong, saat Aku mengambil sesuatu.

Ah, maklum anak laki-laki, kalau lihat perempuan yang agak melek, biar sudah tua macam Aku ini,
tetap saja matanya melotot.

Dia juga pinter ngomong lucu dan banyak nyerempet-nyerempet ke masalah seksual.

Dan si Karno sendiri senang dengan omongan dan kelakar temannya.

Dia juga suka nimbrung, nambahin lucu sambil melempar senyuman manisnya.

Kami jadi banyak tertawa dan cepat saling akrab.

Terus terang Aku senang dengan mereka berdua.

Dan tiba-tiba Aku merasa berlaku aneh, apakah ini karena naluri perempuanku atau dasar genitku yang nggak pernah hilang sejak masih gadis dulu, hingga teman-temanku sering menyebutku sebagai perempuan gatal.

Dan kini naluri genit macam itu tiba-tiba kembali hadir


Mungkin hal ini disebabkan oleh tingkah si Dedi yang seakan-akan memberikan celah padaku untuk
mengulangi peristiwa-peristiwa masa muda.

Peristiwa-peristiwa penuh gairah yang selalu mendebarkan jantung dan hatiku.

Ah, dasar perempuan tua yang nggak tahu diri, makian dari hatiku untukku sendiri.

Tetapi gebu libidoku ini demikian cepat menyeruak ke darahku dan lebih cepat lagi ke wajahku yang langsung terasa bengap kemerahan menahan gejolak gairah mengingat masa laluku itu.

“Tante, jangan ngelamun. Cicak jatuh karena ngelamun, lho”. Kami kembali terbahak mendengar kelakar Karno.

Dan kulihat mata Dedi terus menunjukkan minatnya pada bagian-bagian tubuhku yang masih mulus
ini.

Dan Aku tidak heran kalau anak-anak muda macam Dedi dan Karno ini demen menikmati penampilanku.

Walaupun usiaku yang memasuki tahun ke 36 Aku tetap “fresh” dan “good looking”.

Aku memang suka merawat tubuhku sejak muda.

Boleh dibilang tak ada kerutan tanda ketuaan pada bagian-bagian tubuhku.

Kalau Aku jalan sama anak-anak muda ini, suamiku, banyak yang mengira Aku anaknya atau bahkan “piaraan”nya.

Kurang asem, tuh orang.

Dan suamiku sendiri sangat membanggakan kecantikkanku.

Kalau dia berkesempatan untuk membicarakan istrinya, seakan-akan memberi iming-iming pada para pendengarnya hingga Aku tersipu walaupun dipenuhi rasa bangga dalam hatiku.

Beberapa teman suamiku nampak sering tergoda untuk mencuri pandang padaku.

Tiba-tiba Aku ada ide untuk menahan kedua anak ini.

“Hai, bagaimana kalau kalian makan siang di sini.

Aku punya resep masakan yang gampang, cepat dan sedap.


Sementara Aku masak kamu bisa ngobrol, baca tuh majalah atau pakai tuh, komputer si om.

Kamu bisa main game, internet atau apa lainnya.

Tapi jangan cari yang ‘enggak-enggak’, ya..”, Aku tawarkan makan siang pada mereka.

Tanpa konsultasi dengan temannya si Dedi langsung iya saja.

Aku tahu mata Dedi ingin menikmati sensual tubuhku lebih lama lagi.

Si Karno ngikut saja apa kata Dedi.

Sementara mereka buka komputer Aku ke dapur mempersiapkan masakanku.

Aku sedang mengiris sayuran ketika tahu-tahu Dedi sudah berada di belakangku.

Dia menanyaiku, “Tante dulu teman kuliah mamanya Karno, ya.

Kok kayanya jauh banget, sih?”.

“Apanya yang jauh?, Aku tahu maksud pertanyaan Dedi.

“Iya, Tante pantesnya se-umur dengan teman-temanku”.

“Gombal, ah. Kamu kok pinter nge-gombal, sih, Ded”.

“Bener. Kalau nggak percaya tanya, deh, sama Karno”, lanjutnya sambil melototi pahaku.

“Tante hobbynya apa?”.

“Berenang di laut, skin care dan scuba diving, makan sea food, makan sayuran, nonton Discovery di TV”.

“Ooo, pantesan”.

“Apa yang pantesan?”, sergapku.

“Pantesan body Tante masih mulus banget”.

Kurang asem Dedi ini, tanpa kusadari dia menggiring Aku untuk mendapatkan peluang melontarkan kata-kata “body Tante masih mulus banget” pada tubuhku.

Tetapi Aku tak akan pernah menyesal akan giringan Dedi ini.

Dan reaksi naluriku langsung membuat darahku terasa serr.., libidoku muncul terdongkrak.

Setapak demi setapak Aku merasa ada yang bergerak maju.

Dedi sudah menunjukkan keberaniannya untuk mendekat ke Aku dan punya jalan untuk mengungkapkan kenakalan ke-lelakian-nya.

“Ah, mata kamu saja yang keranjang”, jawabku yang langsung membuatnya tergelak-gelak.

“Papa kamu, ya, yang ngajarin?, lanjutku.

“Ah, Tante, masak kaya gitu aja mesti diajarin”.

Ah, cerdasnya anak ini, kembali Aku merasa tergiring dan akhirnya terjebak oleh pertanyaanku sendiri.

“Memangnya pinter dengan sendirinya?”, lanjutku yang kepingin terjebak lagi.

“Iya, dong, Tante.

Aku belum pernah dengar ada orang yang ngajari gitu-gitu-an”.

Ah, kata-kata giringannya muncul lagi, dan dengan senang hati kugiringkan diriku.

“Gitu-gituan gimana, sih, Dedi sayang?”, jawabku lebih progresif.

“Hoo, bener sayang, nih?”, sigap Dedi.

“Habis kamu bawel, sih”, sergahku.

“Sudah sana, temenin si Karno tuh, n’tar dia kesepian”, lanjutku.

“Si Karno, mah, senengnya cuma nonton”, jawabnya.

“Kalau kamu?”, sergahku kembali.

“Kalau saya, action, Tante sayang”, balas sayangnya.

“Ya, sudah, kalau mau action, tuh ulek bumbu tumis di cobek, biar masakannya cepet mateng”, ujarku sambil memukulnya dengan manis.

“Oo, beres, Tante sayang”, dia tak pernah mengendorkan serangannya padaku.

Kemudian dia menghampiri cobekku yang sudah penuh dengan bumbu yang siap di-ulek.

Beberapa saat kemudian Aku mendekat ke dia untuk melihat hasil ulekannya.

“Uh, baunya sedap banget, nih, Tante.

Ini bau bumbu yang mirip Tante atau bau Tante yang mirip bumbu?”.

Kurang asem, kreatif banget nih anak, sambil ketawa ngakak kucubit pinggangnya keras-keras hingga dia aduh-aduhan.

Seketika tangannya melepas pengulekan dan menarik tanganku dari cubitan di pinggangnya
itu.

Saat terlepas tangannya masih tetap menggenggam tanganku, dia melihat ke mataku.

Ah, pandangannya itu membuat Aku gemetar.

Akankah dia berani berbuat lebih jauh?

Akankah dia yakin bahwa Aku juga merindukan kesempatan macam ini?

Akankah dia akan mengisi gejolak hausku? Petualanganku? Gairah gairahku?

Aku tidak memerlukan jawaban terlampau lama.

Bibir Dedi sudah mendarat di bibirku.

Kini kami sudah berpagutan dan kemudian saling melumat.

Dan tangan-tangan kami saling berpeluk.

Dan tanganku meraih kepalanya serta mengelusi rambutnya.

Dan tangan Dedi mulai bergeser menerobos masuk ke blusku.

Dan tangan-tangan itu juga menerobosi BH-ku untuk kemudian meremasi payudaraku.

Dan Aku mengeluarkan desahan nikmat yang tak terhingga.

Nikmat kerinduan gairah menggauli anak muda yang seusia anakku, 22 tahun di bawah usiaku.

“Tante, Aku gairah banget lihat body Tante.

 Aku pengin menciumi body Tante.

Aku pengin menjilati body Tante.

Aku ingin menjilati kemaluan Tante.

Aku ingin ngentot Tante”.Ah, binalnya mulutnya. Kata-kata binal Dedi melahirkan sebuah sensasi erotik yang membuat Aku menggelinjang hebat.

Kutekankan selangkanganku mepet ke selangkangnnya hingga kurasakan ada jendolan
panas yang mengganjal.

Pasti kemaluan Dedi sudah ngaceng banget.

Kuputar-putar pinggulku untuk merasakan tonjolannya lebih dalam lagi.

Dedi mengerang.Dengan tidak sabaran dia angkat dan lepaskan blusku.

Sementara blus masih menutupi kepalaku bibirnya sudah mendarat
ke ketiakku.

Dia lumati habis-habisan ketiak kiri kemudian kanannya.

Aku merasakan nikmat di sekujur urat-uratku.

Dedi menjadi sangat liar, maklum anak muda, dia melepaskan gigitan dan kecupannya dari ketiak ke
dadaku.

Dia kuak BH-ku dan keluarkan buah dadaku yang masih nampak ranum.

Dia isep-isep bukit dan pentilnya dengan penuh gairah.

Suara-suara erangannya terus mengiringi setiap sedotan, jilatan dan gigitannya.

Sementara itu tangannya mulai merambah ke pahaku, ke selangkanganku.

Dia lepaskan kancing-kancing kemudian dia perosotkan hotpants-ku.

Aku tak mampu mengelak dan Aku memang tak akan mengelak.

Gairahku sendiri sekarang sudah terbakar hebat.

Gelombang dahsyat gairahku telah melanda dan menghanyutkan Aku.

Yang bisa kulakukan hanyalah mendesah dan merintih menanggung derita dan siksa nikmat gairahku.

Begitu hotpants-ku merosot ke kaki, Dedi langsung setengah jongkok menciumi celana dalamku.

Dia kenyoti hingga basah kuyup oleh ludahnya.

Dengan gairah besarnya yang kurang sabaran tangannya memerosotkan celana dalamku.

Kini bibir dan lidahnya menyergap kemaluan, bibir dan kelentitku.

Aku jadi ikutan tidak sabar.

“Dedi, Tante udah gatal banget, nih”.

“Copot dong celanamu, Aku pengin menciumi kamu punya, kan”.

Dan tanpa protes dia langsung berdiri melepaskan celana panjang berikut celana dalamnya.

kemaluannya yang ngaceng berat langsung mengayun seakan mau nonjok Aku.

Kini Aku ganti yang setengah jongkok, kukulum kemaluannya.

Dengan sepenuh gairahku Aku jilati ujungnya yang sobek merekah menampilkan lubang kencingnya.

Aku merasakan precum asinnya saat Dedi menggerakkan pantatnya ngentot mulutku.

Aku raih pahanya biar arah kemaluannya tepat ke lubang mulutku.

“Tante, Aku pengin sodok memek Tante sekarang”.

Aku tidak tahu maunya, belum juga Aku puas mengulum kemaluannya dia angkat tubuhku.

Dia angkat satu kakiku ke meja dapur hingga kemaluanku terbuka.

Kemudian dia tusukkannya kemaluannya yang lumayan gede itu ke kemaluanku.

Aku menjerit tertahan, sudah lebih dari 3 bulan, suamiku nggak nyenggol-nyenggol Aku.

Yang sibuklah, yang rapatlah, yang golflah.

Terlampau banyak alasan untuk memberikan waktunya padaku.

Kini kegatalan kemaluanku terobati, Kocokkan kemaluan Dedi tanpa kenal henti dan semakin cepat.

Anak muda ini maunya serba cepat.

Aku rasa sebentar lagi air maninya pasti muncrat, sementara Aku masih belum sepenuhnya puas dengan entotannya.

Aku harus menunda agar gairah Dedi lebih terarah.

Aku cepat tarik kemaluanku dari tusukkannya, Aku berbalik sedikit nungging dengan tanganku bertumpu pada tepian meja.

Aku pengin dan mau Dedi nembak kemaluanku dari arah belakang.

Ini adalah gaya favoritku.

Biasanya Aku akan cepat orgasme saat dientot suamiku dengan cara ini.

Dedi tidak perlu menunggupermintaanku yang kedua.

kemaluannya langsung di desakkan ke kemaluanku yang telah siap untuk melahap kemaluannya itu.

Nah, Aku merasakan enaknya kemaluan Dedi sekarang.

Pompaannya juga lebih mantab dengan pantatku yang terus mengimbangi dan menjemput setiap tusukan kemaluannya.

Ruang dapur jadi riuh rendah.

Selintas terpikir olehku, di mana si Karno.

Apakah dia masih berkutat dengan komputernya? Atau dia sedang mengintip kami barangkali?

Tiba-tiba dalam ayunan kemaluannya yang sudah demikian keras dan berirama Dedi berteriak.

“Dang, Karno, ayoo, bantuin Aku .., Dang..”.Ah, kurang asem anak-anak ini.

Jangan-jangan mereka memang melakukan konspirasi untuk menyetubuhiku saat ada kesempatan disuruh mamanya untuk mengirimkan oleh-oleh itu.

Kemudian kulihat Karno dengan tenangnya muncul menuju ke dapur dan berkata ke Dedi

“Aku kebagian apanya Ded?’“Tuh, lu bisa ngentot mulutnya.

Dia mau kok”.

Duh, kata-kata binal yang mereka ucapkan dengan kesan seolah-olah Aku ini hanya obyek mereka.

Dan anehnya ucapan-ucapan yang sangat tidak santun itu demikian merangsang gairah gairahku,sangat eksotik dalam khayalku.

Aku langsung membayangkan seolah-olah Aku ini anjing mereka yang siap melayani apapun
kehendak pemiliknya.

Aku melenguh keras-keras untuk merespon gaya mereka itu.

Kulihat dengan tenangnya Karno mencopoti celananya sendiri dan lantas meraih kepalaku dengan tangan kirinya, dijambaknya rambutku tanpa menunjukkan rasa hormat padaku yang adalah teman mamanya itu.

Untuk kemudian ditariknya mendekat ke kemaluannya yang telah siap dalam genggaman tangan kanannya.

kemaluan Karno nampak kemerahan mengkilat.

Kepalanya menjamur besar diujung batangnya.

Saat bibirku disentuhkannya aroma kemaluannya menyergap hidungku yang langsung membuat Aku kelimpungan untuk selekasnya mencaplok kemaluan itu.

Dengan penuh kegilaan Aku lumati, jilati kulum, gigiti kepalanya, batangnya, pangkalnya, biji pelernya.

Tangan Karno terus mengendalikan kepalaku mengikuti keinginannya.

Terkadang dia buat maju mundur agar mulutku memompa, terkadang dia tarik keluar kemaluannya menekankan batangnya atau pelernya agar Aku menjilatinya.

Duh, Aku mendapatkan sensasi kenikmatan seksualku yang sungguh luar biasa.

Sementara di belakang sana si Dedi terus menggenjotkan kemaluannya keluar masuk menembusi kemaluannya sambil jari-jarinya mengutik- utik dan disogok-sogokkannya ke lubang pantatku yang belum pernah Aku mengalami cara macam itu.

Oke, suamiku adalah lelaki konvensional.

Saat dia menggauliku dia lakukan secara konvensional saja.

Sehingga saat Aku merasakan bagaimana perbuatan teman dan anak sahabatku ini Aku merasakan adanya sensasi baru yang benar-benar hebat melanda Aku.Kini 3 lubang erotis yang ada padaku semua dijejali oleh gairah gairah mereka.

Aku benar-benar jadi lupa segala-galanya.

Aku mengenjot-enjot pantatku untuk menjemputi kemaluan dan jari-jari tangan Dedi
dan mengangguk-anggukkan kepalaku untuk memompa kemaluan Karno.

“Ah, Tante, mulut Tante sedap banget, sih.

Enak kan, kemaluanku.

Enak, kan? Sama kemaluan Oom enak mana?

N’tar Tante pasti minta lagi, nih

”Dia percepat kendali tangannya pada kepalAaku.

Ludahku sudah membusa keluar dai mulutku.

kemaluan Karno sudah sangat kuyup.

Sesekali Aku berhenti sessat untuk menelan ludahku.

Tiba-tiba Dedi berteriak dari belakang,

“Aku mau keluar nih, Tante.

Keluarin di memek atau mau diisep, nih?”.

Ah, betapa nikmatnya bisa meminum air mani anak-anak ini.

Mendengar teriakan Dedi yang nampak sudah kebelet mau muncratkan air maninya,Aku buru-buru lepaskan kemaluan Karno dari mulutku.

Aku bergerak dengan cepat jongkok sambil mengangakan mulutku tepat di ujung kemaluan Dedi yang kini penuh giat tangannya mengocok-ocok kemaluannya untuk
mendorong agar air maninya cepat keluar.

Kudengar mulutnya terus meracau,

“Minum air maniku, ya, Tante, minum ya, minum, nih, Tante, minum ya,
makan air maniku ya, Tante, makan ya, enak nih, Tante, enak nih air maniku, Tante, makan ya..”.Air mani Dedi muncrat-muncrat ke wajahku, ke mulutku, ke rambutku.

Sebagian lain nampak mengalir di batang dan tangannya.

Yang masuk mulutku langsung Aku kenyam-kenyam dan kutelan.

Yang meleleh ditangannya kujilati kemudian kuminum.

Kemudian dengan jari-jarinya Dedi mengorek yang muncrat ke wajahku kemudian disodorkannya ke mulutku yang langsungkulumati jari-jarinya itu.

Ternyata saat Karno menyaksikan apa yang dikerjakan Dedi dia ngak mampu menahan diri untuk mengocok-ocok juga kemaluannya.

Dan beberapa saat sesudah kemaluan Dedi menyemprotkan air maninya, menyusul kemaluan Karno memuntahkan anyak air maninya ke mulutku.

Aku menerima semuanya seolah-olah ini hari pesta ulang tahunku.


Aku merasakan rasa yang berbeda,air mani Dedi serasa madu manisnya, sementara air mani Karno sangat gurih seperti air kelapa muda.

Dasar anak muda, gairah mereka tak pernah bisa dipuaskan.

Belum sempat Aku istirahat mereka mengajakaku ke ranjang pengantinku.

Mereka nggak mau tahu kalau Aku masih mengagungkan ranjang pengantinku
yang hanya suamiku boleh ngentot Aku di atasnya.

Setengahnya mereka menggelandang Aku memaksa mnuju kamarku.

Aku ditelentangkannya ke kasur dengan pantatku berada di pinggiran ranjang.

Karno menjemput satutunggai yang dia angkatnya hingga nempel ke bahunya.

Dia tusukan kemaluannya yang tidak surut ngacengnya sesudah sedemikian banyak menyemprotkan air mani untukmenyesaki kemaluanku, kemudian dia pompa kemaluanku dengan cepat kesamping kanan, kiri, ke atas, ke bawahdengan penuh irama.

Aku merasakan ujungnya menyentuh dinding rahimku dan Aku langsung menggelinjang dahsyat.

Pantatku naikturun menjemput tusukan-tusukan kemaluan legit si Karno.

Sementara itu Dedi menarik tubuhku agarkepalaku bisa menciumi dan mengisap kemaluannya.

Kami bertiga kembali mengarungi samudra nikmatnyagairah yang nikmatnya tak terperi.

Hidungku menikmati banget aroma yang menyebar dari selangkangan Dedi.

Jilatan lidah dan kulumanbibirku liar melata ke seluruh kemaluan Dedi.

Kemudian untuk memenuhi kehausanku yang amat sangat, paha Dedi kuraih ke atas ranjang sehingga satukakinya menginjak ke kasur dan membuat posisi pantatnya menduduki wajahku.

Dengan mudah tangan Dedimeraih dan meremasi susu-susu dan pentilku.

Sementara hidungku setengah terbenam ke celah pantatnya dan bibirku tepat di bawah akar pangkal
kemaluannya yang keras menggembung.

Aku menggosok-gosokkan keseluruhan wajahku ke celah bokongnya itu sambil tangan kananku ke atas untukngocok kemaluan Dedi.

Duh, Aku kini tenggelam dalam aroma nikmat yang tak terhingga.

Aku menjadikesetanan menjilati celah pantat Dedi.

Aroma yang menusuk dari pantatnya semakin membuat Aku liar tak terkendali.

Sementara di bawah sanaKarno yang rupanya melihat bagaimana Aku begitu liar menjilati pantat Dedi langsung dengan buasnyamenggenjot kemaluanku.

Dia memperdengarkan racauan nikmatnya,

“Tante, kemaluanmu enak, Tante, kemaluanmu Aku entot, Tante, kemaluanmu Aku entot, ya, enak, nggak?, Enakya, kemaluanku, enak Tante, kemaluanku?”.

Aku juga membalas erangan, desahan dan rintihan nikmat yangsangat dahsyat.

Dan ada yang rasa yang demikian exciting merambat dari dalam kemaluanku.

Aku tahu orgasmeku sedang menuju ke ambang puncak kepuasanku.

Gerakkanku semakin menggila, semakincepat dan keluar dari keteraturan.

Kocokkan tanganku pada kemaluan Dedi semakin kencang.

Naik-naikpantatku menjemputi kemaluan Karno semakin cepat, semakin cepat, cepat, cepat, cepat.

Dan teriakanku yang rasanya membahana dalam kamar pengantinku tak mampu kutahan, meledak menyertaibobolnya pertahanan kemaluanku.

Cairan gairahku tumpah ruah membasah dan membusa mengikuti batangkemaluan yang masih semakin kencang menusukki kemaluanku.

Dan Aku memang tahu bahwa Karno juga hendak melepas air maninya yang kemudian dengan rintihan nikmatnyaakhirnya menyusul sedetik sesudah cairan gairahku tertumpah.

Kakiku yang sejak tadi telah berada dalampelukannya disedoti dan gigitinya hingga meninggalkan cupang-cupang kemerahan.

Sementara Dedi yang sedang menggapai menuju puncak pula, meracau agar Aku mempercepat kocokkankemaluannya sambil tangannya keras-keras meremasi buah dadaku hingga Aku merasakan pedihnya.

Dan saatpuncaknya itu akhirnya datang, dia lepaskan genggaman tanganku untuk dia kocok sendiri kemaluannyadengan kecepatan tinggi hingga air maninya muncrat semburat tumpah ke tubuhku.

Aku yang tetap penasaran, meraih batang yang berkedut-kedut itu untuk kukenyoti, mulutku mengisap-isapcairan maninya hingga akhirnya segalanya reda.

Jari-jari tanganku mencoleki air mani yang tercecer di
tubuhku untuk Aku jilat dan isap guna mengurangi dahaga gairahku.

Sore harinya, walaupun Aku belum sempat merasakan getuk kirimannya yang kini berada dalam lemari eskudengan penuh semangat dan terima kasih Aku menelepon Grace.

“Wah, terima kasih banget atas kirimannya, ya.

Karena sudah lama Aku tidak merasakannya, huh, nikmatbanget rasanya.

Ada gurihnya, ada manisnya, ada legitnya”, kataku sambil selintas mengingat kenikmatan
yang Aku raih dari Karno anaknya dan Dedi temannya.tertawa senang sambil menjawab,

“Nyindir, ya. Memangnya kerajinan tanduk dari Pucang (sebuah desa
di utara Magelang yang menjadi pusat kerajinan dari tanduk kerbau) itu serasa getuk kesukaanmu itu.

N’tar deh kalau Aku pulang lagi, kubawakan sekeranjang getukmu”.

Aku tersedak dan terbatuk-batuk.

Mati Aku, demikian pikirku.

Ternyata bingkisan dalam kulkas itu bukangetuk kesukaanku.
Share:

Dina Sahabat Penaku Yang Kuentot

AGEN BOLA TERPERCAYAari dimuatnya surat pembacaku, ketika aku masih mahasiswa, di suatu surat kabar yang beroplah nasional tentang kesulitan mengirim surat ke luar negeri.

Seminggu kemudian datang surat kepadaku mengomentari suratku dan menceritakan hal yang sama dengan yang kualami.

Ia mengatakan hobinya juga surat-menyurat (korespondensi) dan mengajak bertukar hobi denganku.

Semenjak itu kami rajin saling berkirim surat.

Walaupun belum pernah saling ketemu, karena saling pandai menyusun kata-kata, kami serasa sudah akrab.

Dina, sahabat penaku itu, waktu itu bekerja sebagai asisten apoteker di kota Cikampek.

Ia memang lahir di situ, ayahnya mempunyai penggilingan beras.

Seperti lazimnya pengusaha di kota kecil, ayahnya keturunan Cina.

Ia sulung dari 6 bersaudara dan akhirnya aku juga akrab dengan keluarganya akibat sering main ke sana kalau liburan.

Ia lebih tua 1 tahun dariku.

Waktu itu aku sendiri punya pacar di fakultas dan Dina beberapa mempunyai “teman dekat”, seperti diceritakannya kepadaku lewat surat-suratnya.

Tiga tahun setelah kami akrab, ia pindah ke Jakarta dan diserahi pekerjaan mengelola apotik di daerah Jakarta Barat.

Waktu itu aku sendiri sudah selesai kuliah dan mulai mencari pekerjaan di ibukota.

Hubunganku dengannya sudah cukup akrab.

Beberapa kali aku menginap di rumah kostnya.

Ia kos bersama adik laki-laki tertuanya, yang kuliah di salah satu fakultas kedokteran.

Waktu itu ia sedang pacaran dengan seorang bule, Peter, karyawan suatu perusahaan Belgia.

Aku, Peter, Dina dan Andre (adiknya), sering berjalan bersama.

Waktu itu aku sendiri juga bekerja di daerah Jakarta Barat dan kos di dekat camer (calon mertua).

Pacarku sendiri sedang kuliah di Gajah Mada, Yogya.

Sampai akhirnya si Peter meninggal dunia, karena kecelakaan pesawat ketika sedang pulang ke Belgia.

Ayah Dina waktu itu sedang masuk RS dan aku setiap malam menunggui, bergantian berdua dengan Erik atau dengan Dina, sampai juga meninggal setelah 10 hari dirawat.

Kesedihan karena ditinggal si Peter dan ayahnya, membuat Dina memintaku banyak mendampinginya.

Kalau selesai bekerja, kalau Andre sibuk kuliah, Dina memintaku menjemput ke apotik.

Kalau ia dinas malam, aku biasa menungguinya sebelum ia selesai bekerja.

Sering aku dan Dina (kalau sudah pulang kuliah), menunggui berdua lalu pulang bertiga.

Semua teman kerja dan induk semang kosnya sudah mengenalku semua.

Dan di antara kami semuanya berjalan biasa saja.

Dina ini tinggi badannya lumayan, ada 5 cm di atas tinggi badanku.

Jadi orang pasti tidak mengira kalau kami sedang pacaran.

Dina tahu mengenai pacarku di Yogya.

Walaupun demikian, kedekatan kami lama-lama membuat adanya “rasa lain”.

Kami biasa menonton berdua kalau Dina pulang sore.

Dia juga biasa jalan bergayut di lenganku, itupun kalau bertiga dengan Andre.

Sore itu, hari Sabtu, ia pulang jam 2 dari apotik.

Dina sedang pulang ke Cikampek dan ia kelihatannya sedang sedih (“Aku ingat Peter”, katanya), maka tangannya tak mau lepas dari lenganku. AGEN SABUNG AYAM

Kesedihan itu dibawanya masuk gedung, selama film ia menyandarkan kepalanya di bahuku.

Spontan, kalau ia terdengar mengeluh sedikit, aku mengelus-elus kepalanya.

Setelah beberapa saat, tiba-tiba saja, aku sudah menciumi pipinya.

Ia mengeluh lirih dan merangkulku sambil mulutnya bergeser mencari bibirku.

Kami berpagutan bibir cukup lama, ia seakan sedang menumpahkan semua beban pikirannya kepada pagutan bibir-bibir kami.

Aku betul-betul terhanyut, tetapi masih dapat “menjaga kesopanan” dengan hanya memegangi pipinya saja.

Di taksi pulang ia diam saja.

Hanya pegangan di lenganku semakin bertambah erat.

Sampai di kosnya, ia memintaku masuk kamarnya.

Tante kos sudah kenal baik denganku dan aku memang biasa masuk kamar mereka.

Hanya saja kali ini ia langsung memelukku dan mengulangi kembali pagutan di bibirku.

Aku sedikit bingung, sebelum kemudian memutuskan untuk mengikuti keinginannya.

Kupeluk erat-erat ia yang sedang duduk di pinggir tempat tidur.

Aku duduk di sampingnya sambil memegangi kedua pipinya.

Otomatis, saking serunya ciuman kami, Lia akhirnya terdorong ke belakang dan posisinya menjadi tertidur.

Tiba-tiba saja tanganku sudah pindah ke dadanya dan dari luar (ia masih memakai bajunya) mengelus payudara sebelah kanannya.

Dina melenguh (bukan hanya mengeluh!) dan tangan kirinya menaikkan posisi kaos yang dipakainya.

Lalu aku sudah menggenggam payudara kanannya tanpa halangan apa-apa.

Wow…, tak begitu besar, tetapi putihnya mulus.

Aku mengelus payudaranya sambil sekali-kali memijit bundaran di bawah ujung putingnya.

Dina seakan kesetanan, ia langsung melepas kaos yang dipakainya.

Dadanya telanjang dan…..Aku tak dapat lagi menahan diri.

Sejenak kuteliti wanita di hadapanku ini.

Lehernya putih, anak-anak rambut yang menggerai di sekeliling lehernya membuat penisku mengejang.

Bahunya yang pualam menyangga mulutnya yang sedikit menganga dan mengeluarkan desis lirih yang memburu.

Matanya terpejam.

Rok bawahnya masih terikat, tetapi pantatnya sudah membuat gerak memutar-mutar sedikit.

Lalu kutelusuri lehernya.

Tanganku turun ke arah payudara kanannya.

Ia menempelkan badan erat-erat ke badanku.

Kuputar telapakku di payudara kanannya.

Ia mengelinjang.

Ketika tanganku pindah ke payudara sebelah kiri, gelinjangannya bertambah dan tangannya langsung ke bawah badanku, mencari sela-sela pahaku.

Ketika aku mulai menjilati puting susunya, tangannya menerobos ritsleting celanaku dan…, aku sedikit menggelinjang ketika ia mulai menggenggam penisku.

Kedua tangannya berusaha menurunkan celana dalamku, tetapi masih sulit karena celana panjangku masih bertengger di sana.

Sementara itu mulutku mulai mengulum puting susunya bergantian.

Dilepaskannya penisku dan, karena kegelian dan merasa nikmat, ia merengkuh kepalaku, ditariknya ke arah puting susunya.

Lalu tiba-tiba didorongnya badanku, sambil nafasnya terburu, dilepaskannya rok yang masih dipakainya.

Lalu tanganku diraihnya, dimasukkannya ke dalam CD-nya.

Pelan-pelan kuelus bulu vaginanya.

Wah, lebat betul.

Dari sekian wanita yang pernah “kutelanjangi”, baru kali itu aku melihat pubis (rambut vagina) yang demikian lebat.

Lebat, panjang, ketat.

Hitam bukan main.

Kuelus-elus bulu vaginanya, kugelitik-gelitik rambut-rambutnya mencari lubang vaginanya.

Tidak mudah ketemu, tetapi sudah basah karena air nikmatnya sudah keluar.

Dina sendiri membantuku dengan menekan-nekan tanganku yang di permukaan vaginanya.

“Euuuhh…, eeuuuhh..”, gelinjangnya. Lalu, tak sabar, diturunkannya CD-nya yang sudah di pahanya.

Telanjang bulatlah ia.

Gila, putihnya! Pantatnya yang bulat, yang biasanya kupegangi (dari luar) kalau ia lagi bergelayut di lenganku, betul-betul indah.

Pinggulnya apalagi.

Penisku langsung berdiri menegang melihat itu semua dan mengantisipasi “tugas lanjutannya”.

Kugosok-gosokkan ujung hidungku ke pinggul itu, pelan-pelan kujilati memutar menuju ke pantatnya yang indah.

Kuremas-remas bulatan pantatnya, sambil kugesek-gesekkan ujung hidungku terus.

Harum baunya, harum sekali.

Penisku yang tegang bergerak-gerak terus.

Ia tak sabar, dipegangnya tanganku, dibimbingnya untuk kembali menusuk-nusuk vaginanya.

Ia sendiri seakan kesetanan menunggu lubang vaginanya dimasuki jari-jariku.

Tetapi aku kembali berkonsentrasi pada puting susunya.

Kujilat, kuelus memakai lidah, kusedot pelan-pelan sambil ia melenguh-lenguh dan menggelinjang-gelinjang.

Akhirnya ia sudah tak sabar lagi.

Tangannya mulai menurunkan celana panjangku.

CD-ku langsung dipelorotnya ke bawah.

Lalu tangannya menggenggam-genggam penisku.

Aku serasa melayang.

Sebagai laki-laki, selama ini kalau ia bergayut di lenganku sambil berjalan-jalan, aku sering membayangkan tangannya yang putih dengan jari-jarinya yang panjang mengelus-elus penisku.

Atau kujilati puting susunya yang sering membayang kalau ia memakai baju tipis.

Hanya, selama itu aku hanya berani membayangkan, karena aku menghormatinya sebagai rekan akrab.

Rupanya sore itu lain.

Ia langsung membalik, mengarahkan mulutnya ke penisku.

Lalu tanpa basa-basi di kulum penisku.

Aku sendiri langsung meneroboskan muka ke arah vaginanya.

Tanganku memisahkan rambut-rambut di situ dan kulihat clitorisnya sudah kelihatan di luar.

Kugosok-gosok perlahan permukaan clitorisnya.

Dina menggelinjang-gelinjang.

Kujilati clitorisnya sambil kuisap-isap.

“Ouww …,. ouw nikmattttt”, lenguhnya, “Terusss.., teruuuss”, lenguhnya dalam.

Isapannya di penisku melemah akhirnya.

Kupikir ia sudah selesai.

Tiba-tiba, ia membalikkan badan lagi dan langsung berbaring di atasku.

Penisku dipegangnya dan dicoba dimasukkannya ke dalam vaginanya yang sudah sangat basah.

Rasanya oouw, ketika kepala penisku mulai masuk.

Aku yang kegelian hampir tak tahan.

Maklum, waktu itu penisku baru punya jam terbang yang dapat dihitung dengan jari, dan karena masih muda, jarang memakai “pendahuluan” yang cukup lama.

Biasanya kalau keduanya sudah tegang (kalau main dengan cewek lain), lalu langsung kumasukkan, ejakulasi sama-sama dan kucabut.

Ini lain.

Dengan Dina permainan permulaannya sudah seru duluan! (Buatku waktu itu, ketika aku “belum berpengalaman”!)Betul, saking gelinya, aku yang di bawah sampai mengangkat kepala tak tahan geli dan mau bangkit.

Pas saat itu, kepalaku dipegang Dina, dibawanya ke payudara sebelah kiri.

Melihat ada gumpalan daging kenyal putih menantang, langsung kujilati dan kuisap-isap.

Baru sebentar, Dina mengerang, “Ohh…, Dina nyampeee”.

Gile, baru sebentar ia sudah nyampe!

“Kamu belum apa-apa, ya?”, tanyanya sambil menciumi mulutku.

Aku diam tak bisa menjawab karena mulutnya menyerang sana-sini.

“Gantian Dina di bawah, deh, biar kamu juga nyampe!”.Ia membalikkan badan.

Melihat sekilas badannya yang indah dan putih itu, penisku terasa nikmat-nikmat nyeri, rasanya ada yang akan mengalir keluar dari ujung penisku.

“Gile, aku udah mau keluar…”, pikirku.

Betul, ketika aku baru tiga kali memompa, spermaku keluar.

Kupeluk erat-erat badannya, ia juga memegangi pantatku erat-erat sambil berbisik,

“Masukkan semua…, masukkan semua..”.

Kutekan erat-erat penisku ke dalam vagina bidadariku ini, kumasukkan semua benih hidupku ke dalam jaringan tubuhnya.

Ketika aku mau berguling ke sebelah badannya, dilarangnya aku.

Ia ingin aku tetap di atas tubuhnya, dengan penisku masih di dalam vaginanya.

Kunikmati saat itu dengan mempermainkan dagunya, menjilati payudaranya dan menggesek-gesekkan penisku ke dalam vaginanya.

Ia tetap menciumiku.

Penisku sendiri tetap tegang di dalam vaginanya.

Lima menit kemudian nafsunya bangkit lagi.

Ia mengerang pelan, sambil menggoyang-goyangkan pantat.

“Dina nafsu lagi, nihh”, erangnya.

Penisku sendiri yang tadi sempat sedikit mengecil menjadi besar kegelian tergesek-gesek permukaan dalam vaginanya.

Lalu…, “Uuuuuuhh..” Bibir vaginanya seakan memijat penisku.

Aku merasa penisku kegelian, geli-geli nikmat sampai seakan-akan badanku meronta-ronta di atas badan Dina.

Dina sendiri terangsang dengan gerakanku, memelukku erat-erat sambil keras menggoyangkan pantatnya memutar.

Dalam 20 menit kemudian, 2 kali lagi ia mengalami orgasme.

Gila, pikirku.

Pijatan vaginanya membuatku seakan melayang ke surga, tetapi aku sendiri baru sempat orgasme sekali.

Lalu ia mulai melemas seakan tak berdaya.

Habis itu lalu terjadi “perkosaan”.

Aku tidak tahan lagi.

Dina kugulingkan ke sana ke mari menuruti nafsuku.

Kadang kucabut penisku dari vaginanya, kumasukkan ke dalam mulutnya, lalu kucabut dan kugesekkan di antara lembah tetek-teteknya, lalu kumasukkan mulutnya lagi, lalu kumasukkan ke dalam vaginanya.

Aku orgasme 2 kali lagi.

Sekali di mulutnya, sekali di ujung vaginanya (dasar belum pengalaman, karena kegelian digesek bulu vaginanya, begitu penisku sampai di ujung vaginanya langsung keluar spermaku).

Dina sendiri pasrah saja kuperlakukan seperti itu.

Ia seakan sudah tidak berdaya.

Kugulingkan ikut saja, kusuruh mengulum penisku yang basah mau saja, mengurut-urut kepala penis di dadanya juga ikut, membantu memasukkan penisku ke vaginanya juga turut saja.

Ketika kami berdua sudah tidak berdaya lagi, kulihat jam.

Dua setengah jam sudah berlalu sejak kami masuk ke kamar itu.

Akhirnya kami tak kuat lagi dan terkapar kepayahan.

Mata terpejam rapat, kelihatannya ia lelah sekali dan mengantuk berat.

Aku bangkit dan barulah tercium bau sperma bercampur keringat di kamar itu.

Dina sendiri sudah tidak berdaya lagi.

Ia sudah tergeletak begitu saja telanjang bulat.

Kuselimuti badannya dan aku mulai memunguti pakaianku yang terserak di sana-sini.

Kusemprotkan Bayfresh ke dinding-dinding kamar untuk mengurangi bau “mesum” itu.

Untung Andre sedang pulang ke Cikampek.

Kucium dahi Dina, kututup pintu kamar dan aku pamit ke tante kos.

Esoknya aku datang lagi.

Hari Minggu ini Dina mengaku sakit kepada tante kos dan minta, “Si Willy ngerawat saya, ya tante”.

Jadinya kami berdua berbulan madu di kamarnya sepanjang hari.

Dan terjadi perkosaan lagi, yang ternyata disenanginya.

Dalam perjalanan pulang aku berpikir bahwa hubungan kami sudah berubah.

Kalau selama ini aku menganggap dia sebagai kakak, karena lebih tua 1 tahun, lagi pula ia lebih tinggi dibandingkan badanku, malam ini hal itu sudah berubah.

Kakakku sayang itu telah membuatku merindukannya sebagai orang lain (Kalau aku boleh berterus-terang: aku akan merindukannya untuk merasakan vaginanya yang sangat basah dibelah penisku, untuk kudekap ketika ia telanjang bulat-bulat, untuk menggeser-geserkan ujung hidungku di permukaan vaginanya yang hitam, lebat dan merangsang itu, untuk genggaman baik tangan maupun mulutnya bagi penisku yang tegang) Sahabat303 - Agen Sabung Ayam, Agen Bola, SBOBET, IBCBET, Casino Online Terpercaya
  • Bonus Deposit 10% (Khusus Sportbook) Setiap Harinya
  • Bonus Deposit 10 % Khusus Tangkas Setiap harinya
  • Bonus Cashback Sport Up To 16%
  • Bonus Cashback Casino 2%
  • Bonus Rollingan Casino 0.7%
  • Bonus Cashback Sabung Ayam Up To 10%
  • Bonus Referral 2% Seumur Hidup
Kami juga memiliki layanan custumer service yang ramah dan profesional untuk melayani anda kapan pun.

Share:

Hubungan Terlarangku Dengan Atasan

AGEN BOLA TERPERCAYA  Mbak Teti kurang lebih baru 2 minggu bekerja sebagai atasanku sebagai Accounting Manager.

Sebagai atasan baru, ia sering memanggilku ke ruang kerjanya untuk menjelaskan overbudget yang terjadi pada bulan sebelumnya, atau untuk menjelaskan laporan mingguan yang kubuat.

Aku sendiri sudah termasuk staf senior.

Tapi mungkin karena latar belakang pendidikanku tidak cukup mendukung, management memutuskan merekrutnya. AGEN SABUNG AYAM

Ia berasal dari sebuah perusahaan konsultan keuangan.

Usianya kutaksir sekitar 25 hingga 30 tahun.

Sebagai atasan, sebelumnya kupanggil “Bu”, walau usiaku sendiri 10 tahun di atasnya.

Tapi atas permintaanya sendiri, seminggu yang lalu, ia mengatakan lebih suka bila di panggil “Mbak”.

Sejak saat itu mulai terbina suasana dan hubungan kerja yang hangat, tidak terlalu formal.

Terutama karena sikapnya yang ramah.

Ia sering langsung menyebut namaku, sesekali bila sedang bersama rekan kerja lainnya, ia menyebut “Pak”.

Dan tanpa kusadari pula, diam-diam aku merasa betah dan nyaman bila memandang wajahnya yang cantik dan lembut menawan.

Ia memang menawan karena sepasang bola matanya sewaktu-waktu dapat binar-binar, atau menatap dengan tajam.

Tapi di balik itu semua, ternyata ia suka mendikte.

Mungkin karena telah menduduki jabatan yang cukup tinggi dalam usia yang relatif muda, kepercayaan dirinya pun cukup tinggi untuk menyuruh seseorang melaksanakan apa yang diinginkannya.

Mbak Teti selalu berpakaian formal.

Ia selalu mengenakan blus dan rok hitam yang agak menggantung sedikit di atas lutut.

Bila sedang berada di ruang kerjanya, diam-diam aku pun sering memandang lekukan pinggulnya ketika ia bangkit mengambil file dari rak folder di belakangnya.

Walau bagian bawah roknya lebar, tetapi aku dapat melihat pinggul yang samar-samar tercetak dari baliknya.

Sangat menarik, tidak besar tetapi jelas bentuknya membongkah, memaksa mata lelaki menerawang untuk menerka-nerka keindahannya.

Di dalam ruang kerjanya yang besar, persis di samping meja kerjanya, terdapat seperangkat sofa yang sering dipergunakannya menerima tamu-tamu perusahaan.

Sebagai Accounting Manager, tentu selalu ada pembicaraan-pembicaraan ‘privacy’ yang lebih nyaman dilakukan di ruang kerjanya daripada di ruang rapat.

Aku merasa beruntung bila dipanggil Mbak Teti untuk membahas cash flow keuangan di kursi sofa itu.

Aku selalu duduk persis di depannya.

Dan bila kami terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius, ia tidak menyadari roknya yang agak tersingkap.

Di situlah keberuntunganku.

Aku dapat melirik sebagian kulit paha yang berwarna gading.

Kadang-kadang lututnya agak sedikit terbuka sehingga aku berusaha untuk mengintip ujung pahanya.

Tapi mataku selalu terbentur dalam kegelapan.

Andai saja roknya tersingkap lebih tinggi dan kedua lututnya lebih terbuka, tentu akan dapat kupastikan apakah bulu-bulu halus yang tumbuh di lengannya juga tumbuh di sepanjang paha hingga ke pangkalnya.

Bila kedua lututnya rapat kembali, lirikanku berpindah ke betisnya.

Betis yang indah dan bersih.

Terawat.

Ketika aku terlena menatap kakinya, tiba-tiba aku dikejutkan oleh pertanyaan Mbak Teti..

“Peter, aku merasa bahwa kau sering melirik ke arah betisku. Apakah dugaanku salah?” Aku terdiam sejenak sambil tersenyum untuk menyembunyikan jantungku yang tiba-tiba berdebar.


“Peter, salahkah dugaanku?”

“Hmm.., ya, benar Mbak,” jawabku mengaku, jujur.

Mbak Teti tersenyum sambil menatap mataku.

“Mengapa?”Aku membisu.

Terasa sangat berat menjawab pertanyaan sederhana itu.

Tapi ketika menengadah menatap wajahnya, kulihat bola matanya berbinar-binar menunggu jawabanku.

“Saya suka kaki Mbak.

Suka betis Mbak.

Indah. Dan..,” setelah menarik nafas panjang, kukatakan alasan sebenarnya.

“Saya juga sering menduga-duga, apakah kaki Mbak juga ditumbuhi bulu-bulu.”

“Persis seperti yang kuduga, kau pasti berkata jujur, apa adanya,” kata Mbak Teti sambil sedikit mendorong kursi rodanya.

“Agar kau tidak penasaran menduga-duga, bagaimana kalau kuberi kesempatan memeriksanya sendiri?”

“Sebuah kehormatan besar untukku,” jawabku sambil membungkukan kepala, sengaja sedikit bercanda untuk mencairkan pembicaraan yang kaku itu.

“Kompensasinya apa?”

“Sebagai rasa hormat dan tanda terima kasih, akan kuberikan sebuah ciuman.”

“Bagus, aku suka. Bagian mana yang akan kau cium?”

“Betis yang indah itu!”

“Hanya sebuah ciuman?”

“Seribu kali pun aku bersedia.

”Mbak Teti tersenyum manis. Ia berusaha manahan tawanya.

“Dan aku yang menentukan di bagian mana saja yang harus kau cium, OK?”

“Deal, my lady!”

“I like it!” kata Mbak Teti sambil bangkit dari sofa.

Ia melangkah ke mejanya lalu menarik kursinya hingga ke luar dari kolong mejanya yang besar.

Setelah menghempaskan pinggulnya di atas kursi kursi kerjanya yang besar dan empuk itu, Mbak Teti tersenyum.

Matanya berbinar-binar seolah menaburkan sejuta pesona birahi.

Pesona yang membutuhkan sanjungan dan pujaan.

“Periksalah, Peter.

Berlutut di depanku!” Aku membisu.

Terpana mendengar perintahnya.

“Kau tidak ingin memeriksanya, Peter?” tanya Mbak Teti sambil sedikit merenggangkan kedua lututnya.Sejenak, aku berusaha meredakan debar-debar jantungku.

Aku belum pernah diperintah seperti itu.

Apalagi diperintah untuk berlutut oleh seorang wanita.

Bibir Mbak Teti masih tetap tersenyum ketika ia lebih merenggangkan kedua lututnya.

“Peter, kau tahu warna apa yang tersembunyi di pangkal pahaku?” Aku menggeleng lemah, seolah ada kekuatan yang tiba-tiba merampas sendi-sendi di sekujur tubuhku.

Tatapanku terpaku ke dalam keremangan di antara celah lutut Mbak Teti yang meregang.

Akhirnya aku bangkit menghampirinya, dan berlutut di depannya.

Sebelah lututku menyentuh karpet.

Wajahku menengadah.

Mbak Teti masih tersenyum.

Telapak tangannya mengusap pipiku beberapa kali, lalu berpindah ke rambutku, dan sedikit menekan kepalaku agar menunduk ke arah kakinya.

“Ingin tahu warnanya?” Aku mengangguk tak berdaya.

“Kunci dulu pintu itu,” katanya sambil menunjuk pintu ruang kerjanya.

Dan dengan patuh aku melaksanakan perintahnya, kemudian berlutut kembali di depannya.

Mbak Teti menopangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya.

Gerakannya lambat seperti bermalas-malasan.

Pada saat itulah aku mendapat kesempatan memandang hingga ke pangkal pahanya.

Dan kali ini tatapanku terbentur pada secarik kain tipis berwarna putih.

Pasti ia memakai G-String, kataku dalam hati.

Sebelum paha kanannya benar-benar tertopang di atas paha kirinya, aku masih sempat melihat bulu-bulu ikal yang menyembul dari sisi-sisi celana dalamnya.

Segitiga tipis yang hanya selebar kira-kira dua jari itu terlalu kecil untuk menyembunyikan semua bulu yang mengitari pangkal pahanya.

Bahkan sempat kulirik bayangan lipatan bibir di balik segitiga tipis itu.

“Suka?” Aku mengangguk sambil mengangkat kaki kiri Mbak Teti ke atas lututku.

Ujung hak sepatunya terasa agak menusuk. Kulepaskan klip tali sepatunya.

Lalu aku menengadah. Sambil melepaskan sepatu itu.

Mbak Teti mengangguk.

Tak ada komentar penolakan.

Aku menunduk kembali.

Mengelus-elus pergelangan kakinya.

Kakinya mulus tanpa cacat.

Ternyata betisnya yang berwarna gading itu mulus tanpa bulu halus.

Tapi di bagian atas lutut kulihat sedikit ditumbuhi bulu-bulu halus yang agak kehitaman.

Sangat kontras dengan warna kulitnya.

Aku terpana.

Mungkinkah mulai dari atas lutut hingga.., hingga.. Aah, aku menghembuskan nafas.

Rongga dadaku mulai terasa sesak.

Wajahku sangat dekat dengan lututnya.

Hembusan nafasku ternyata membuat bulu-bulu itu meremang.

“Indah sekali,” kataku sambil mengelus-elus betisnya...Kenyal.

“Suka, Peter?” Aku mengangguk.“Tunjukkan bahwa kau suka.

Tunjukkan bahwa betisku indah!”Aku mengangkat kaki Mbak Teti dari lututku.

Sambil tetap mengelus betisnya, kuluruskan kaki yang menekuk itu.

Aku sedikit membungkuk agar dapat mengecup pergelangan kakinya.

Pada kecupan yang kedua, aku menjulurkan lidah agar dapat mengecup sambil menjilat, mencicipi kaki indah itu.

Akibat kecupanku, Mbak Teti menurunkan paha kanan dari paha kirinya.

Dan tak sengaja, kembali mataku terpesona melihat bagian dalam kanannya.

Karena ingin melihat lebih jelas, kugigit bagian bawah roknya lalu menggerakkan kepalaku ke arah perutnya.

Ketika melepaskan gigitanku, kudengar tawa tertahan, lalu ujung jari-jari tangan Mbak Teti mengangkat daguku.

Aku menengadah.

“Kurang jelas, Peter?” Aku mengangguk.

Mbak Teti tersenyum nakal sambil mengusap-usap rambutku.

Lalu telapak tangannya menekan bagian belakang kepalaku sehingga aku menunduk kembali.

Di depan mataku kini terpampang keindahan pahanya.

Tak pernah aku melihat paha semulus dan seindah itu.

Bagian atas pahanya ditumbuhi bulu-bulu halus kehitaman.

Bagian dalamnya juga ditumbuhi tetapi tidak selebat bagian atasnya, dan warna kehitaman itu agak memudar.

Sangat kontras dengan pahanya yang berwarna gading.

Aku merinding.

Karena ingin melihat paha itu lebih utuh, kuangkat kaki kanannya lebih tinggi lagi sambil mengecup bagian dalam lututnya.

Dan paha itu semakin jelas.

Menawan.

Di paha bagian belakang mulus tanpa bulu.

Karena gemas, kukecup berulang kali.

Kecupan-kecupanku semakin lama semakin tinggi.

Dan ketika hanya berjarak kira-kira selebar telapak tangan dari pangkal pahanya, kecupan-kecupanku berubah menjadi ciuman yang panas dan basah.

Sekarang hidungku sangat dekat dengan segitiga yang menutupi pangkal pahanya.

Karena sangat dekat, walau tersembunyi, dengan jelas dapat kulihat bayangan bibir kewanitaannya.

Ada segaris kebasahan terselip membayang di bagian tengah segitiga itu.

Kebasahan yang dikelilingi rambut-rambut ikal yang menyelip dari kiri kanan G-stringnya.

Sambil menatap pesona di depan mataku, aku menarik nafas dalam-dalam.

Tercium aroma segar yang membuatku menjadi semakin tak berdaya.

Aroma yang memaksaku terperangkap di antara kedua belah paha Mbak Teti.

Ingin kusergap aroma itu dan menjilat kemulusannya.

Mbak Teti menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi.

Menarik nafas berulang kali.

Sambil mengusap-usap rambutku, diangkatnya kaki kanannya sehingga roknya semakin tersingkap hingga tertahan di atas pangkal paha.

“Suka Peter?”

“Hmm.. Hmm..!” jawabku bergumam sambil memindahkan ciuman ke betis dan lutut kirinya.

Lalu kuraih pergelangan kaki kanannya, dan meletakkan telapaknya di pundakku.

Kucium lipatan di belakang lututnya.

Mbak Teti menggelinjang sambil menarik rambutku dengan manja.

Lalu ketika ciuman-ciumanku merambat ke paha bagian dalam dan semakin lama semakin mendekati pangkal pahanya, terasa tarikan di rambutku semakin keras.

Dan ketika bibirku mulai mengulum rambut-rambut ikal yang menyembul dari balik G-stringnya, tiba-tiba Mbak Teti mendorong kepalaku.

Aku tertegun. Menengadah.

Kami saling menatap.

Tak lama kemudian, sambil tersenyum menggoda, Mbak Teti menarik telapak kakinya dari pundakku.

Ia lalu menekuk dan meletakkan telapak kaki kanannya di permukaan kursi.

Pose yang sangat memabukkan.

Sebelah kaki menekuk dan terbuka lebar di atas kursi, dan yang sebelah lagi menjuntai ke karpet.

“Suka Peter?”

“Hmm.. Hmm..!”

“Jawab!”“Suka sekali!”Pemandangan itu tak lama.

Tiba-tiba saja Mbak Teti merapatkan kedua pahanya sambil menarik rambutku.

“Nanti ada yang melihat bayangan kita dari balik kaca.

Masuk ke dalam, Peter,” katanya sambil menunjuk kolong mejanya.

Aku terkesima.

Mbak Teti merenggut bagian belakang kepalaku, dan menariknya perlahan.

Aku tak berdaya.

Tarikan perlahan itu tak mampu kutolak.

Lalu Mbak Teti tiba-tiba membuka ke dua pahanya dan mendaratkan mulut dan hidungku di pangkal paha itu.

Kebasahan yang terselip di antara kedua bibir kewanitaan terlihat semakin jelas.

Semakin basah.

Dan di situlah hidungku mendarat.

Aku menarik nafas untuk menghirup aroma yang sangat menyegarkan.

Aroma yang sedikit seperti daun pandan tetapi mampu membius saraf-saraf di rongga kepala.

“Suka Peter?”

“Hmm.. Hmm..!”

“Sekarang masuk ke dalam!” ulangnya sambil menunjuk kolong mejanya.

Aku merangkak ke kolong mejanya.

Aku sudah tak dapat berpikir waras.

Tak peduli dengan segala kegilaan yang sedang terjadi.

Tak peduli dengan etika, dengan norma-norma bercinta, dengan sakral dalam percintaan.

Aku hanya peduli dengan kedua belah paha mulus yang akan menjepit leherku, jari-jari tangan lentik yang akan menjambak rambutku, telapak tangan yang akan menekan bagian belakang kepalaku, aroma semerbak yang akan menerobos hidung dan memenuhi rongga dadaku, kelembutan dan kehangatan dua buah bibir kewanitaan yang menjepit lidahku, dan tetes-tetes birahi dari bibir kewanitaan yang harus kujilat berulang kali agar akhirnya dihadiahi segumpal lendir orgasme yang sudah sangat ingin kucucipi.

Di kolong meja, Mbak Teti membuka kedua belah pahanya lebar-lebar.

Aku mengulurkan tangan untuk meraba celah basah di antara pahanya.

Tapi ia menepis tanganku.

“Hanya lidah, Peter! OK?”Aku mengangguk.

Dan dengan cepat membenamkan wajahku di G-string yang menutupi pangkal pahanya.

Menggosok-gosokkan hidungku sambil menghirup aroma pandan itu sedalam-dalamnya.

Mbak Teti terkejut sejenak, lalu ia tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku.

“Rupanya kau sudah tidak sabar ya, Peter?” katanya sambil melingkarkan pahanya di leherku.

“Hm..!”

“Haus?”

“Hm!”

“Jawab, Peter!” katanya sambil menyelipkan tangannya untuk mengangkat daguku.

Aku menengadah.

“Haus!” jawabku singkat.

Tangan Mbak Teti bergerak melepaskan tali G-string yang terikat di kiri dan kanan pinggulnya.

Aku terpana menatap keindahan dua buah bibir berwarna merah yang basah mengkilap.

Sepasang bibir yang di bagian atasnya dihiasi tonjolan daging pembungkus clit yang berwarna pink.

Aku termangu menatap keindahan yang terpampang persis di depan mataku.

“Jangan diam saja. Peter!” kata Mbak Teti sambil menekan bagian belakang kepalaku.

“Hirup aromanya!” sambungnya sambil menekan kepalaku sehingga hidungku terselip di antara bibir kewanitaannya.

Pahanya menjepit leherku sehingga aku tak dapat bergerak.

Bibirku terjepit dan tertekan di antara dubur dan bagian bawah vaginanya.

Karena harus bernafas, aku tak mempunyai pilihan kecuali menghirup udara dari celah bibir kewanitaannya.

Hanya sedikit udara yang dapat kuhirup, sesak tetapi menyenangkan.

Aku menghunjamkan hidungku lebih dalam lagi.

Mbak Teti terpekik.

Pinggulnya diangkat dan digosok-gosokkannya dengan liar hingga hidungku basah berlumuran tetes-tetes birahi yang mulai mengalir dari sumbernya.

Aku mendengus. Mbak Teti menggelinjang dan kembali mengangkat pinggulnya.

Kuhirup aroma kewanitaannya dalam-dalam, seolah vaginanya adalah nafas kehidupannku.

“Fantastis!” kata Mbak Teti sambil mendorong kepalaku dengan lembut.

Aku menengadah.

Ia tersenyum menatap hidungku yang telah licin dan basah.

“Enak ‘kan?” sambungnya sambil membelai ujung hidungku.

“Segar!” Mbak Teti tertawa kecil.

“Kau pandai memanjakanku, Peter.

Sekarang,

“Kecup,Jilat dan hisap dengan rakus.

Tunjukkan bahwa kau memujanya.

Tunjukkan rasa hausmu!

Jangan ada setetes pun yang tersisa!

Tunjukkan dengan rakus seolah ini adalah kesempatan pertama dan yang terakhir bagimu!

”Aku terpengaruh dengan kata-katanya.

Aku tak peduli walaupun ada nada perintah di setiap kalimat yang diucapkannya.

Aku memang merasa sangat lapar dan haus untuk mereguk kelembutan dan kehangatan vaginanya.

Kerongkonganku terasa panas dan kering.

Aku merasa benar-benar haus dan ingin segera mendapatkan segumpal lendir yang akan dihadiahkannya untuk membasahi kerongkongannku.

Lalu bibir kewanitaannya kukulum dan kuhisap agar semua kebasahan yang melekat di situ mengalir ke kerongkonganku.

Kedua bibir kewanitaannya kuhisap-hisap bergantian.

Kepala Mbak Teti terkulai di sandaran kursinya.

Kaki kanannya melingkar menjepit leherku.

Telapak kaki kirinya menginjak bahuku.

Pinggulnya terangkat dan terhempas di kursi berulang kali.

Sesekali pinggul itu berputar mengejar lidahku yang bergerak liar di dinding kewanitaannya.

Ia merintih setiap kali lidahku menjilat clitnya.

Nafasnya mengebu.

Kadang-kadang ia memekik sambil menjambak rambutku.

“Ooh, ooh, Peter! Peter!”

Dan ketika clitnya kujepit di antara bibirku, lalu kuhisap dan permainkan dengan ujung lidahku, Mbak Teti merintih menyebut-nyebut namaku..

“Peter, nikmat sekali sayang.. Peter! Ooh.. Peter!”Ia menjadi liar.

Telapak kakinya menghentak-hentak di bahu dan kepalaku.

Paha kanannya sudah tidak melilit leherku.

Kaki itu sekarang diangkat dan tertekuk di kursinya.

Mengangkang.

Telapaknya menginjak kursi.

Sebagai gantinya, kedua tangan Mbak Teti menjambak rambutku.

Menekan dan menggerak-gerakkan kepalaku sekehendak hatinya.

“Peter, julurkan lidahmuu! Hisap! Hisaap!”Aku menjulurkan lidah sedalam-dalamnya.

Membenamkan wajahku di vaginanya.

Dan mulai kurasakan kedutan-kedutan di bibir vaginanya, kedutan yang menghisap lidahku, mengundang agar masuk lebih dalam.

Beberapa detik kemudian, lendir mulai terasa di ujung lidahku.

Kuhisap seluruh vaginanya.

Aku tak ingin ada setetes pun yang terbuang.

Inilah hadiah yang kutunggu-tunggu.

Hadiah yang dapat menyejukkan kerongkonganku yang kering.

Kedua bibirku kubenamkan sedalam-dalamnya agar dapat langsung menghisap dari bibir vaginanya yang mungil.

“Peter! Hisap Peter!”Aku tak tahu apakah rintihan Mbak Teti dapat terdengar dari luar ruang kerjanya.

Seandainya rintihan itu terdengar pun, aku tak peduli.

Aku hanya peduli dengan lendir yang dapat kuhisap dan kutelan.

Lendir yang hanya segumpal kecil, hangat, kecut, yang mengalir membasahi kerongkonganku.

Lendir yang langsung ditumpahkan dari vagina Mbak Teti, dari pinggul yang terangkat agar lidahku terhunjam dalam.

“Oh, fantastis,” gumam Mbak Teti sambil menghenyakkan kembali pinggulnya ke atas kursinya.

Ia menunduk dan mengusap-usap kedua belah pipiku.

Tak lama kemudian, jari tangannya menengadahkan daguku.

Sejenak aku berhenti menjilat-jilat sisa-sisa cairan di permukaan kewanitaannya.

“Aku puas sekali, Peter,” katanya.

Kami saling menatap.

Matanya berbinar-binar.

Sayu.

Ada kelembutan yang memancar dari bola matanya yang menatap sendu.

“Peter.”

“Hm..”

“Tatap mataku, Peter.” Aku menatap bola matanya.

“Jilat cairan yang tersisa sampai bersih”

“Hm..” jawabku sambil mulai menjilati vaginanya.

“Jangan menunduk, Peter.

Jilat sambil menatap mataku.

Aku ingin melihat erotisme di bola matamu ketika menjilat-jilat vaginaku.

”Aku menengadah untuk menatap matanya.

Sambil melingkarkan kedua lenganku di pinggulnya, aku mulai menjilat dan menghisap kembali cairan lendir yang tersisa di lipatan-lipatan bibir kewanitaannya.

“Kau memujaku, Peter?”

“Ya, aku memuja betismu, pahamu, dan di atas segalanya, yang ini.., muuah!” jawabku sambil mencium kewanitaannya dengan mesra sepenuh hati.Mbak Teti tersenyum manja sambil mengusap-usap rambutku.


Sahabat303 - Agen Sabung Ayam, Agen Bola, SBOBET, IBCBET, Casino Online Terpercaya
  • Bonus Deposit 10% (Khusus Sportbook) Setiap Harinya
  • Bonus Deposit 10 % Khusus Tangkas Setiap harinya
  • Bonus Cashback Sport Up To 16%
  • Bonus Cashback Casino 2%
  • Bonus Rollingan Casino 0.7%
  • Bonus Cashback Sabung Ayam Up To 10%
  • Bonus Referral 2% Seumur Hidup
Kami juga memiliki layanan custumer service yang ramah dan profesional untuk melayani anda kapan pun.

Share:
sabung ayam bola tangkas maxbet, ibcbet Sahabatcasino Agen Live Casino Online dan Sabung Ayam Terpercaya

Popular Posts